Debat Kebijakan di Tambang Raja Ampat

CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v62), quality = 80

SIKAP kritis yang ditunjukkan berbagai lembaga swadaya masyarakat menyikapi persoalan tambang di Raja Ampat, Papua memang sudah seharusnya diberikan apresiasi. Penulis, pemerintah, kita semua pasti setuju dengan hal ini.

Bagi Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ESDM (Bahlil Lahadalia) khususnya, penulis meyakini, segala bentuk masukan bahkan kritik diatensi dengan saksama. Hal ini sekaligus menunjukkan ruang publik, nyata maupun virtual, berciri demokratis, deliberatif, dan partisipatif.

Namun untuk hal tertentu, kita semua akan dan (harusnya) bersikap sama : melawan segala bentuk disinformasi dan narasi manipulatif.

Sebagai bukti nyata, Menteri ESDM langsung melakukan kunjungan lapangan dan menghentikan sementara kegiatan operasional PT GAG Nikel: perusahaan tambang yang menjadi objek dalam persoalan ini.

Ini sebenarnya respon progresif pemerintah, khususnya Menteri ESDM. Dalam perspektif administrasi publik, penulis membaca ini sebagai bentuk “diskresi” sebab pejabat negara mengambil langkah berani, cepat, dan terukur, untuk menjaga psikologi publik. Meski dengan kebijakan ini, ada pihak yang dirugikan.

Bersikap Imparsial

Perkara tambang di Raja Ampat harus dikaji dari beragam perspektif. Kita semua perlu membahas soalan ini dengan pikiran mendalam dan hati yang lapang. Kita memahami setiap kebijakan pasti menimbulkan trade-off atau opportunity cost.

Apa yang kita harapkan bermanfaat pada satu sisi, akan mengorbankan sisi yang lain. Ini adalah postulat universal yang tidak saja tervalidasi secara nalar-teoritis, namun juga teruji secara faktual-empiris. Oleh karenanya, mendesak pemerintah langsung mencabut ijin usaha pertambangan (IUP) PT GAG Nikel, atau perusahan lainnya adalah bentuk kemendesakan yang delusif. Dangkal dan berisiko.

Pertanyaannya: apakah memang ada pelanggaran hukum dalam operasionalitas pengelolaan tambang oleh kontraktor? Atau apakah selamanya pertambangan selalu diametris dengan keberlanjutan lingkungan? Lalu bagaimana teknologi berperan dalam menutupi celah eksternalitas atau ekses buruk dari pertambangan?

Berbagai pertanyaan itu sepertinya sudah cukup mewakili debat kebijakan tambang, khususnya bagi negara yang sedang berderap maju seperti Indonesia. Penulis mau mengajak kita semua bersikap adil dan proporsional melihat arah pembangunan bangsa, khususnya target besar bersama dalam menopang keberlanjutan ekonomi.

Hal ini beralasan karena kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB Indonesia relatif besar. Pada kuartal pertama tahun 2025, pertambangan membentuk 8,99 persen PDB Indonesia (BPS, 2025).

Di sisi lain, Kementerian ESDM (2025) mencatat pertambangan menyumbang Rp140,66 triliun bagi pendapatan negara pada tahun 2024. Hal ini ekuivalen dengan 52,19 persen dari total penerimaan negara bukan pajak atau 4,95 persen dari total penerimaan negara.

Di awal 2025, pertambangan mampu menyerap 60 ribu tenaga kerja baru, dengan tingkat upah yang paling tinggi dari semua sektor (BPS, 2025). Deretan fakta ini menegaskan pertambangan adalah sektor strategis yang mesti mendapat atensi kebijakan, termasuk ketika pertambangan itu tengah mengalami silang-sengkarut.

Bagi penulis, posisi PT GAG Nikel sama dengan kontraktor tambang lainnya. PT GAG melakukan operasi produksi berdasarkan dokumen hukum yang absah dan melalui beragam tingkat legitimasi, daerah hingga ke pusat. Dari semua rangkaian peristiwa yang penulis pelajari, sampai kemudian pemerintah menerbitkan IUP Operasi Produksi, PT GAG telah menjalani prosedur sebagaimana mestinya.

Dalam hal lokasi tambang berada di pulau kecil, yakni pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 (Pasal 18 UU 6/2023), ketentuan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah terakhir dengan UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, berlaku dalam objek perkara penambangan ini. Pasal 35 huruf k UU 27/2007 memang menyatakan adanya larangan bagi setiap orang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, dan/atau ekologis, dan/atau sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, dan/atau pencemaran lingkungan, dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Frasa “yang apabila” sebenarnya jenis norma bersyarat. Larangan penambangan mineral berlaku sepanjang PT GAG melakukan operasi penambangan yang tidak sejalan atau memenuhi unsur yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 35 huruf k UU 27/2007 tersebut. Sebagai tindak lanjut larangan itu, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU 1/2014 memang memberikan kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan mencabut ijin pemanfaatan pulau-pulau kecil, namun norma ini telah dihapus dalam UU 6/2023.

Artinya, tindakan Menteri ESDM yang melakukan penghentian operasional sementara (tidak langsung pencabutan IUP) adalah tindakan yang bijak dan terukur. Beri pemerintah waktu untuk melakukan evaluasi mendalam. Inilah imparsialitas pertama yang perlu dikedepankan. Sepanjang entitas usaha itu tidak melakukan pelanggaran hukum, maka perdebatannya harus kita geser ke isu berikutnya: apakah pertambangan dan lingkungan selalu diametris ?

Dalam studi Song, dkk (2025) yang mengkaji bagaimana perspektif Asia melihat pertambangan dan ekonomi hijau, menemukan bahwa pertambangan punya potensi besar dalam mendukung transisi hijau. Memang belum optimal, tapi ini hanya perkara waktu. Kajian ini juga berkesimpulan penggunaan teknologi inovatif seperti kecerdasan buatan dan big data dapat secara signifikan meningkatkan efisiensi operasional tambang dan mengurangi dampak lingkungan.

Hal yang sama disampaikan Gairola, dkk (2025) yang menilai adanya tren menuju solusi terintegrasi yang diterapkan oleh industri pertambangan sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan global. Penulis sengaja mengambil justifikasi empiris dari pendekatan Asia, sebab punya karakteristik dan persoalan yang tidak jauh beda dengan yang Indonesia alami.

Pertambangan sejatinya tidak vis a vis dengan lingkungan. Keduanya tetap bisa berjalan simultan sepanjang ada inovasi dan intervensi kebijakan yang mampu memitigasi dampak lingkungan dari tambang. Pemerintah sedang mengupayakan itu. Inilah imparsialitas berikutnya.

Pelajaran yang Bisa Diambil

Penulis mendukung sikap kritis, sama seperti yang penulis utarakan dalam tulisan ini. Namun sikap kritis perlu ditunjang oleh argumentasi yang akuntabel. Debat kebijakan harus diarahkan pada hal-hal yang substantif, tentu dengan sikap imparsial. Tidak tendensius.

Sebuah kebijakan juga pantas dievaluasi. Hal ini juga yang penulis sampaikan dalam tulisan ini. Penulis mengevaluasi berbagai tendensi dan tudingan ilusif yang ditujukan pada pejabat publik tertentu. Padahal, segala bentuk tudingan itu belum tentu benar, bahkan dalam banyak hal tidak berdasar.

Pada akhirnya, dari silang pendapat menyikapi persoalan tambang di Raja Ampat ini, kita mesti menaruh harapan pada keberlanjutan demokrasi. Republik ini tetap menjamin kebebasan berpendapat dan prinsip-prinsip demokratik. []

Oleh: Imad Imaduddin, Peneliti Prolog Initiatives, Alumnus Magister Analisis Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI)