ANGGOTA Komisi IV DPR RI Dadang M. Naser menilai maraknya konflik sosial dan penyimpangan pengelolaan hutan di Jawa merupakan imbas lemahnya pengawasan terhadap program kehutanan sosial.
Hal itu ia sampaikan usai menerima Forum Pemerhati dan Penyelamatan Hutan Jawa (FPHJ) dalam rapat audiensi di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025).
“Hari ini Komisi IV kedatangan tamu yang menyampaikan apresiasi di bawah koordinasi yang menamakan Forum Pemerhati dan Penyelamat Hutan Jawa yang dipimpin oleh Pak Eka Santosa, beserta Rengrengan hadir di Komisi IV menyampaikan berbagai hal terkait dengan kondisi hutan yang ada di Jawa Barat,” ujar Dadang kepada Parlementaria usai pertemuan.
Sebelumnya, FHJ yang dipimpin Eka Santosa meminta Komisi IV mendorong pencabutan SK Kementerian LHK terkait Perhutani Kesatuan Pengelolaan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDPK) serta menolak pelaksanaan reforma agraria di kawasan hutan Jawa.
Dadang mengungkapkan kondisi hutan di Jawa Barat kini memprihatinkan. Dari ideal 30 persen luas kawasan hutan, kini hanya tersisa sekitar 15 persen. Ia menyebutkan bahwa penyebab utamanya adalah kerusakan yang dipicu konflik sosial, tumpang tindih pemahaman kebijakan negara, serta pelaksanaan perhutanan sosial yang tidak berjalan sesuai tujuan.
“Perhutanan sosial ini tujuannya ideal, tapi ternyata di lapangan tidak berhasil. Artinya, 90 persen gagal, 10 persen baru menyatakan ada,” ucap Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Perhutanan Sosial (PS) sendiri yakni sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.
Lebih lanjut Dadang mengungkapkan bahwa gagalnya pelaksanaan PS ini karena minimnya pengawasan , bimbingan teknis , dan pendampingan kepada masyarakat penggarap. Akibatnya, kebijakan negara yang bertujuan memberi akses kelola kepada masyarakat malah bergeser menjadi praktik perusakan hutan.
Maka dari itu, dalam kesempatan tersebut, Dadang menegaskan bahwa konsep kehutanan sosial seharusnya berbasis agroforestry , bukan hortikultura yang berorientasi tanam cepat panen.
“Kehutanan sosial itu mestinya menjaga tegakan dengan sistem agroforestry. Masyarakat sejahtera hutannya tetap lebat, ” katanya.
Ia mencontohkan penanaman pohon nangka, sukun, kopi, dan tanaman keras lain yang selaras dengan tujuan menjaga tegakan. Model tersebut kemudian dapat dikombinasikan dengan peternakan, termasuk penyediaan hijauan seperti daun kelor untuk pakan.
Dalam audiensi, FPHJ juga mengungkap praktik di lapangan yang dinilai keliru memanfaatkan program kehutanan sosial. Dadang menyebut sebagian kelompok menjadikan SK pemerintah sebagai legitimasi untuk masuk ke hutan, sehingga terjadi pembalakan dan perambahan. “Ada yang jadi salah paham memanfaatkan kebijakan negara menjadi langkah-langkah yang sporadis,” jelasnya.
Ia menegaskan penyimpangan seperti itu harus dihentikan dan diluruskan. “Bagaimana hutan mangrove, pilih-pilih pantai, bagaimana tadi konflik sosial tentang pemilikan tahan, kebijakan-kebijakan negara harus kembali dievaluasi,” jelasnya
Dadang menuturkan Komisi IV saat ini sedang mempersiapkan Panitia Khusus (Pansus) Rencana Kehutanan untuk mengevaluasi tata kelola hutan nasional, termasuk kebijakan KHDPK dan reforma agraria di kawasan hutan.
Ia memastikan Komisi IV akan memanggil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perhutani, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), dan pihak lain yang relevan. Dadang menyatakan Komisi IV terbuka menerima data tambahan dari FPHJ untuk memperkuat proses evaluasi kebijakan. “Pak Alex bilang kita akan manggil rapat lagi dengan Menteri Kehutanan, di dalamnya ada Perhutani, ada BPDAS. ”terangnya
“Kami sangat terbuka untuk menerima data-data masukan daripada rekan-rekan Penyelamat Hutan Jawa, ”imbuhnya. []











