Yulisman Dorong Pemda Kembangkan Perdagangan Karbon, Pastikan Masyarakat Adat Terlibat dan Sejahtera

ANGGOTA Komisi XII DPR RI, Yulisman, menyebut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon  membuka akses bagi pemerintah daerah (Pemda) dalam perdagangan karbon dunia.

“Perpres ini bukan hanya alat mitigasi iklim, tetapi peluang ekonomi nyata. Daerah yang menjaga hutan, gambut, dan mangrove akan memperoleh manfaat finansial melalui mekanisme pasar karbon yang kredibel dan terverifikasi,” kata Yulisman dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/10/2025), dikutip dari Kompas.

Menurut Yulisman, terbitnya Perpres 110 Tahun 2025 itu memperkuat kepastian hukum dan meningkatkan integritas sistem perhitungan emisi. Pemda bisa terlibat dalam perdagangan karbon itu melalui pengakuan standar internasional seperti Gold Standard dan Verra.

Kebijakan Prabowo itu membuat daerah dengan potensi alam yang besar bisa mendapatkan keuntungan ekonomi baru dari kegiatan pengurangan emisi. Provinsi Riau menjadi salah satu Pemda dengan potensi karbon terbesar di Indonesia dengan 5,3 juta hektar lahan gambut dan lebih dari 224 ribu hektar kawasan mangrove.

Menurutnya, jika 500 ribu hektar saja dari lahan itu dikelola dalam proyek karbon berstandar Gold Standard, penyerapan emisi berpotensi mencapai 50 juta ton CO?e selama masa proyek.

Memperhitungkan harga pasar karbon di dunia yang berkisar 10 dollar Amerika Serikat (AS) hingga 30 dollar AS per ton CO?e, maka nilai ekonomi yang dihasilkan dari wilayah itu bisa mencapai 500 juta dollar AS hingga 1,5 miliar dollar AS atau setara Rp 8 triliun hingga Rp 24 triliun.

Padahal, kata Yulisman, banyak provinsi lain di Indonesia yang memiliki potensi alam seperti Riau. “Jika Kalimantan, Papua, dan Sulawesi juga mengembangkan proyek sejenis, potensi ekonomi karbon nasional bisa mencapai ratusan triliun rupiah dalam dekade mendatang,” ujar Yulisman.

Bagaimana dengan masyarakat adat?

Lebih lanjut, politikus Partai Golkar itu mengingatkan, skema Gold Standard mendudukkan masyarakat lokal dan masyarakat adat sebagai subjek yang penting. Mereka mesti terlibat, dan kegiatan perdagangan karbon itu juga harus melindungi hak adat serta memberikan manfaat sosial.

Proyek yang dikerjakan Pemda harus menunjukkan nilai manfaatnya terhadap kesejahteraan warga, seperti membuka lapangan kerja hijau, meningkatkan pendapatan petani dan nelayan, hingga memperbaiki ekosistem pesisir.

Dengan skema itu, maka kegiatan perdagangan karbon bukan saja mendatangkan nilai ekonomi baru bagi Pemda, tetapi turut membangun keadilan sosial dan pembangunan wilayah.

“Gold Standard membuktikan bahwa ekonomi hijau bukan hanya urusan angka dan investasi, tetapi tentang keadilan sosial dan kemandirian daerah,” tutur Yulisman.

Yulisman meminta Pemda segera menyusun peta potensi karbon daerah, memperkuat sumber daya manusia (SDM), dan menjalin kemitraan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), serta sektor swasta agar manfaatnya dirasakan betul oleh masyarakat.

“Dengan kekayaan alam seperti yang dimiliki Riau, Kalimantan, dan Papua, Indonesia punya peluang besar menjadikan karbon sebagai sumber kemakmuran baru yang berkelanjutan,” kata dia. []

Leave a Reply