Dewi Yustisiana Kritik Kerusakan Jalan dan Minimnya Penjelasan Limbah PT Star Energy

ANGGOTA Komisi XII DPR RI Dewi Yustisiana menyoroti sejumlah persoalan lingkungan dan sosial yang dirasakan masyarakat di wilayah Ring 1 operasional PT Star Energy Geothermal Salak Ltd (SEGS).

Dewi mengungkapkan bahwa meskipun perusahaan memiliki dokumen lingkungan dan capaian kinerja yang baik, termasuk predikat proper EMAS, namun realisasi di lapangan seringkali tidak sejalan.

“Dokumen lingkungan atau penilaian lingkungannya itu biasanya bagus. Mereka menyampaikan proper mereka ‘emas’, tetapi seringkali kenyataan di lapangannya itu tidak sama,” ujarnya kepada Parlementaria usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi XII DPR RI ke PLTP Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025).

Ia mencontohkan keluhan masyarakat Desa Kebandungan, wilayah Ring 1 PLTP Gunung Salak, terutama terkait kondisi infrastruktur jalan. Menurutnya, aktivitas operasional seperti pengeboran dan lalu lintas truk berat menyebabkan kerusakan jalan yang tidak ditangani secara cepat.

“Jalan itu selalu dilalui truk-truk besar. PT Star ini kan sudah lama di Gunung Salak, jadi mereka harusnya sudah tahu apa saja risiko kerusakan dari kegiatan operasional. Namun, sangat disayangkan perbaikan jalan itu baru dilakukan ketika warga berdemo. Itu kan tidak preventif,” tegasnya.

Dewi juga menyoroti kurangnya penjelasan perusahaan terkait pengelolaan limbah dan dampak operasional lainnya. Ia menjelaskan bahwa panas bumi memiliki potensi menghasilkan berbagai jenis limbah, termasuk bau dari pelepasan gas, lumpur, hingga kebisingan dan getaran saat pengeboran.

“Tadi tidak dijelaskan mengenai pengolahan limbahnya. Potensi limbahnya banyak. Dari pelepasan gas itu ada potensi bau yang bisa menimbulkan pencemaran udara. Penanganan lumpurnya seperti apa? Suara dan getaran saat pengeboran juga bagaimana? Itu kita tidak dijelaskan,” papar Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Selain itu, Dewi menekankan bahwa eksploitasi panas bumi dapat mempengaruhi ketersediaan sumber air, yang sangat penting bagi masyarakat sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai petani.

“Geotermal itu bisa berdampak kepada pengurangan sumber air. Di sini banyak masyarakat petani. Air itu penting, tidak hanya untuk konsumsi tapi juga untuk irigasi. Sayangnya program CSR untuk lahan pertanian baru dilakukan tiga tahun terakhir,” katanya.

Ia pun menyebut CSR perusahaan di banyak daerah pemilihan, termasuk proyek panas bumi, sering kali tidak maksimal dan tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Karena itu, ia meminta PT Star Energy Geothermal memperbaiki pendekatan CSR-nya.

“Kami meminta CSR itu jangan sekadar memenuhi persyaratan. Banyak sekali di dapil saya, ring satu justru paling terdampak, tapi CSR-nya tidak sesuai kebutuhan masyarakat. CSR harus dilakukan secara maksimal dan sesuai aspirasi warga agar mereka betul-betul merasakan manfaatnya dan terbantu secara ekonomi,” tutur Dewi. []

Leave a Reply