Henry Indraguna: Moratorium Deforestasi dan Penegakan Hukum Jadi Kunci Selamatkan Sumatera

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menegaskan bahwa bencana banjir besar yang meluluhlantakkan Sumatera pada November 2025 bukan peristiwa alam biasa, melainkan potret paling telanjang dari kegagalan tata kelola lingkungan dan hukum yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Ia menyebut bahwa kerusakan ekologis yang kini memicu korban massal sudah seharusnya dibaca sebagai kejahatan luar biasa yang menuntut penindakan setara dengan korupsi atau terorisme.

Prof Henry menyebut kasus ini melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, khususnya Pasal 12 huruf e yang melarang penebangan di luar izin, dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara dan denda Rp2,5 miliar.

“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terbukti dilanggar melalui Pasal 69, di mana deforestasi tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) memicu strict liability,” tegas Prof Henry.

Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini menilai bahwa prinsip precautionary dan intergenerational equity yang termaktub dalam Pasal 3 dan 4 PPLH telah diabaikan total oleh pihak-pihak yang selama ini mengeruk manfaat ekonomi dari kawasan hutan. Ia tak menutup kemungkinan bahwa pola pembiaran ini masuk dalam kategori tindak pidana korupsi sebagaimana diatur UU 31/1999, dengan ancaman hukuman seumur hidup.

Secara filosofis, Prof Henry merujuk pada pemikiran deep ecology Arne Naess untuk menjelaskan bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang tidak boleh direduksi menjadi sekadar komoditas.

“Di Indonesia, ini selaras dengan sila kedua yang menuntut empati ekologis, sementara Sila Kelima menjamin keadilan antar generasi. Tanpa restorasi seperti moratorium deforestasi dan reboisasi komunal, kita sejatinya bukan penjaga bumi, tapi justru jadi aktor utama perusaknya,” beber Prof Henry.

Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini juga menegaskan dukungannya terhadap desakan publik agar pemerintah menetapkan banjir Sumatera sebagai bencana nasional. Menurutnya, penanganan pusat yang lebih massif merupakan kebutuhan mendesak, begitu pula dengan penegakan hukum yang harus diarahkan pada efek jera.

“Hukum bagi pelaku kejahatan seperti korupsi atau terorisme sebagai kejahatan ekstra ordinary agar keadilan ekologis menjadi norma,” tandas Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini.

Hingga Selasa (9/12/2025), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 964 orang meninggal dunia akibat banjir di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Sebanyak 264 orang lainnya masih dinyatakan hilang.

Bencana ini memberikan pukulan paling keras bagi tiga provinsi: Aceh dengan 391 korban jiwa, Sumatera Utara 338 jiwa, dan Sumatera Barat 235 jiwa. Lebih dari 3,2 juta warga harus mengungsi, sementara kerugian infrastruktur diperkirakan mencapai nilai triliunan rupiah.

Pakar hidrologi UGM, Dr Hatma Suryatmaja, menegaskan bahwa apa yang terjadi bukanlah fenomena spontan, melainkan akumulasi panjang dari kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah hulu.

“Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS,” ungkap Dr. Hatma Suryatmojo.

Ia menambahkan, banjir bandang yang melanda Sumatera pada November 2025 adalah bagian dari “dosa ekologis” yang menumpuk selama puluhan tahun dan baru sekarang menunjukkan dampak destruktifnya.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkuat analisis tersebut. Bencana ini dipicu oleh siklon tropis Senyar yang membawa hujan ekstrem, namun kerusakannya diperburuk oleh hilangnya tutupan hutan seluas 1,4 juta hektare di tiga provinsi sejak 2016. Degradasi ekologis ini beririsan dengan aktivitas 631 perusahaan pemegang konsesi.

Investigasi awal KLHK mengidentifikasi sedikitnya 12 subjek hukum, termasuk pemilik HGU dan pemegang PBPH, yang diduga terlibat penebangan liar serta konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan. {golkarpedia}