KOMISI VI DPR RI menyoroti absennya Menteri Perdagangan dalam proses pembahasan strategi penyelamatan kebijakan industri baja nasional. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid menyayangkan jika Menteri Perdagangan menilai isu ini hanya sekadar mengurus teknis saja, padahal persoalan ini menyangkut kedaulatan ekonomi negara.
“Kita mengapresiasi kehendak luar biasa dari Presiden. Ini bukan sekadar urusan bisnis baja, tapi bagian dari upaya menegakkan kedaulatan ekonomi nasional dan menghargai produk dalam negeri,” ujar Nurdin dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, BSN, Danantara, dan PT Krakatau Steel di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (10/11/2025), dikutip dari laman DPR RI.
Perlu diketahui, baja merupakan bagian dari urat nadi dari pembangunan industri infrastruktur, dan manufaktur yang kini menjadi penopang daya saing nasional. Oleh sebab itu, imbuhnya, kehadiran Menteri Perdagangan dalam pembahasan penyelamatan ini sangat krusial.
Tidak henti, dirinya menyoroti soal pentingnya menjaga keseimbangan antara eksekutif dan legislatif dalam pembahasan kebijakan strategis. “Menteri itu pembantu Presiden. Sedangkan DPR, secara konstitusi, setara dengan Presiden. Jadi ketika DPR mengundang, apalagi membahas kebijakan penting seperti industri baja, minimal Wamen yang hadir,” katanya.
Apalagi, tuturnya, kehadiran pejabat tingkat Menteri bukan semata soal protokoler, melainkan bagian dari penghormatan terhadap fungsi representasi rakyat. “Tidak mudah duduk di sini, kami memperjuangkan suara rakyat. Jadi, kalau kebijakan yang diambil pemerintah tidak berpihak kepada industri baja, DPR akan menegaskan posisinya,” pungkas Politisi Fraksi Partai Golkar itu.
Sebagai informasi, kritik tersebut muncul di tengah kondisi industri baja nasional yang sedang menghadapi tekanan berat. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, produksi baja Indonesia pada tahun 2024 mencapai sekitar 18 juta ton, menempatkan Indonesia di posisi ke-14 di dunia.
Namun, utilisasi kapasitas nasional baru menyentuh 52,7 persen, artinya separuh mesin pabrik masih menganggur. Sementara kebutuhan baja dalam negeri pada tahun 2025 diperkirakan naik menjadi 19,3 juta ton, sebagian besar masih dipenuhi dari impor murah, terutama asal Tiongkok.
PT Krakatau Steel menerangkan industri baja dalam negeri kini “berada di titik nadir” jika pemerintah tidak segera mengambil langkah protektif. Banjir baja impor, mesin pabrik tua, hingga belum masuknya sektor baja dalam kebijakan penurunan emisi nasional, memperlihatkan lemahnya arah industrialisasi negara ini.
Di tengah kondisi seperti itu, desakan Komisi VI DPR agar Menteri Perdagangan turun langsung bukan sekadar soal etika kelembagaan, tetapi panggilan untuk bertanggung jawab pada masa depan industri strategis bangsa. Sebab bagi Nurdin, tanpa keberpihakan nyata pemerintah, industri baja nasional akan terus tergerus di negara sendiri. []











