Bahlil dan Tanggung Jawab Sejarah Partai Golkar

BANGSA ini telah berjalan jauh. Ada masa membangun, ada masa tersandung, ada masa di mana kita belajar untuk menata kembali apa yang sempat retak. Nama Soeharto berada di tengah alur panjang itu. Di satu sisi, ada cerita tentang fondasi negara, infrastruktur, kewibawaan dan kerja pembangunan. Di sisi lain, ada ingatan tentang luka, tekanan, dan rasa kehilangan ruang kebebasan. Semua itu hidup dalam satu tubuh bangsa.

Sejarah itu hadir lengkap. Kita tidak perlu melarikan diri darinya atau pula terjebak di dalamnya. Yang kita perlukan adalah duduk sebentar, memahami dengan hati yang lebih matang, dan bertanya pada diri sendiri: apa pelajaran paling berharga yang dapat kita bawa ke depan.

Di titik ini Partai Golkar berdiri. Sebagai partai yang pernah berada di ruang paling dekat dengan kekuasaan, Golkar menyimpan jejak pengalaman yang panjang. Ada kekuatan visi pembangunan, ada jejak organisasi yang rapi, ada kedisiplinan politik yang pernah mengikat bangsa ini bergerak. Namun ada juga sisi-sisi yang masih membuat sebagian rakyat menyimpan perasaan yang belum selesai. Semua itu adalah bagian dari rumah besar Golkar.

Bahlil Lahadalia hadir sebagai wajah generasi yang memikul warisan itu. Ia lahir dari tanah perjuangan yang tidak mudah. Orang kecil, jatuh bangun, memulai hidup dari titik nol, merasakan perut lapar dan pintu kesempatan yang tertutup.

Dari Timur negeri, banyak orang mungkin tidak menyangka bahwa suatu hari ia akan berdiri memimpin Partai Golkar. Ia bukan anak jenderal. Ia bukan keturunan pengusaha besar. Ia datang dari perjalanan hidup yang keras dan panjang. Justru dari situlah ia membawa pesan bahwa Golkar bukan milik segelintir kalangan, melainkan milik seluruh rakyat yang mau bekerja dan berjuang.

Maka cara bicaranya wajar bila terasa lugas, kadang agak keras, kadang seperti mau bercanda namun sebenarnya sedang serius. Ia membawa gaya kepemimpinan yang tidak banyak teori, namun penuh jam terbang. Pengalaman saya berinteraksi dengannya juga demikian. Bahlil bukan orang yang pintar bicara, namun terlihat hatinya tulus.

Dalam perjalanannya hari ini, Bahlil menjadi representasi generasi muda Indonesia yang diberi kepercayaan mengemban agenda agenda strategis negara, mulai dari masa Presiden Jokowi hingga Presiden Prabowo. Banyak hal yang ia jalankan bukan dengan sorak-sorai, tetapi dengan kerja nyata.

Dan iya. Kita jujur saja. Bahlil bukan sosok yang disukai semua orang. Bahkan mungkin saat ini, yang menyukainya lebih sedikit daripada yang tidak menyukainya. Banyak kebijakan yang menimbulkan perdebatan. Banyak ucapan yang memancing reaksi.

Banyak langkah yang dinilai tajam. Itu semua terdengar dan tercatat. Saya menganggap semua itu sebagai masukan dari rakyat kepada ketua umum saya. Masukan adalah bentuk cinta. Yang diam biasanya bukan karena suka, tapi karena sudah tidak berharap.

Ada hal-hal yang memang masih perlu ditata. Ada keputusan yang belum menemukan penjelasan yang tepat. Ada pertanyaan yang masih menggantung. Namun saya percaya, Bahlil sedang mencari jalan bagaimana kepentingan rakyat dapat diutamakan, tanpa harus menjual harga diri bangsa.

Tidak mudah berdiri di tengah persimpangan antara modal, negara, dan kepentingan rakyat. Tidak semua keputusan terasa manis. Tapi di situlah nilai seorang pemimpin diuji. Kenapa saat ini SPBU swasta masih bertahan? Karena mereka masih berharap.

Kehadirannya mengingatkan kita pada pesan Bung Karno: Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah bukan untuk dipuja tanpa kritik, dan bukan pula untuk dihapus. Sejarah adalah guru yang menuntun langkah hari ini.

Lalu bagaimana semua ini kembali kepada Soeharto dan sejarah Golkar? Dengan cara yang sederhana. Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan memiliki dua wajah. Ia bisa membangun, juga di sisi yang lain, bisa melukai. Dari sana bangsa kita belajar berjalan lebih pelan dan lebih lembut. Kita belajar bahwa pembangunan saja tidak cukup tanpa ruang kebebasan. Kita belajar bahwa kebebasan juga membutuhkan kedisiplinan agar arah bangsa tidak tercerai.

Golkar membawa pelajaran itu. Bahlil membawanya dengan gaya zaman sekarang. Tidak kaku. Tidak penuh podium. Namun dengan ngobrol, dengan pertemuan kecil, dengan mendengar suara rakyat di lapangan. Kadang ada yang tercubit. Kadang ada yang tersinggung. Tapi bangsa ini tumbuh justru ketika ada ruang untuk saling mengingatkan, saling mengoreksi, dan saling menuntun.

Maka ketika kita menyebut Soeharto hari ini, kita sedang berbicara tentang keberanian memandang sejarah secara utuh. Yang bening kita jaga. Yang perih kita rawat agar tidak terulang. Yang baik kita jadikan fondasi. Yang kurang kita jadikan guru. Dan Golkar hadir untuk menjaga ingatan itu tetap hidup.

Bahlil berjalan di jalur itu. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala sorotan dan apresiasinya. Dengan segala tawa dan omelannya. Ia bagian dari perjalanan bangsa ini menuju kedewasaan.

Kita semua berjalan bersama. Pelan, namun pasti. Ke arah masa depan yang lebih dewasa, lebih tenang, dan lebih bijaksana. {RakyatMerdeka}

Oleh: Prof. Dr. Ali Muchtar  Ngabalin, M. Si, Ketua DPP Partai Golkar, Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional

Leave a Reply