Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo, menegaskan pentingnya menjaga semangat dan substansi perjanjian damai Aceh saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Aceh.
Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Prof. Hamid Awaluddin, dua tokoh yang berperan besar dalam proses perdamaian Aceh. Firman membuka pernyataannya dengan menyampaikan penghargaan atas peran Jusuf Kalla yang dinilai konsisten memperjuangkan perdamaian sejak 2004.
“Kami ingin menyampaikan bahwa sudah tepat jika Pak JK mendapatkan predikat sebagai tokoh perdamaian. Saya masih ingat betul di awal pemerintahan bapak, adalah kecintaan bapak terhadap masyarakat Aceh. Bahkan ketika tsunami 2004, bapak yang saat itu juga menjabat Ketua Umum Partai Golkar menginstruksikan agar kami segera turun ke Aceh membantu masyarakat, dan bapak menyatakan akan bertanggung jawab atas seluruh kebutuhannya,” ujar Firman dikutip redaksi Golkarpedia dari tayangan video TVR Parlemen.
Ia juga mengenang salah satu momen penting di lapangan saat Jusuf Kalla menegaskan sikap inklusif terhadap semua pihak.
“Saya masih ingat ketika kita di Aceh, bapak membagi makanan dari helikopter. Saat itu ada tentara yang bilang kalau lokasi tersebut basis GAM. Tetapi kalimat bapak sangat bersejarah: ‘GAM adalah warga negara kita juga, GAM adalah manusia juga yang butuh makan.’ Itu salah satu pendorong lahirnya perdamaian ini,” tegas politisi senior Partai Golkar ini.
Firman menjelaskan, alasan utama Baleg DPR RI mengundang Jusuf Kalla dan Prof. Hamid Awaluddin dalam RDPU kali ini adalah untuk memastikan pembahasan revisi undang-undang tidak mengabaikan sejarah perjuangan perdamaian Aceh.
“Kami khawatir jika dalam penyempurnaan tidak diketahui latar belakang sejarahnya, maka undang-undang baru justru bisa menganulir atau mencederai perjanjian yang telah diperjuangkan dengan susah payah,” sebut Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini.
Dalam kesempatan itu, Firman juga menyoroti tiga hal krusial yang perlu dikaji lebih dalam. Pertama, mengenai masa berlaku otonomi khusus Aceh yang dalam perjanjian disebutkan selama 20 tahun, yakni hingga 2026. Ia meminta pandangan Jusuf Kalla terkait wacana penyamaan status otonomi khusus Aceh dengan Papua, yang berlaku permanen.
Kedua, ia menekankan pentingnya konsistensi pelaksanaan butir-butir perjanjian yang hingga kini belum sepenuhnya terealisasi. “Prof. Hamid tadi menyampaikan bahwa salah satu yang belum terlaksana adalah pembentukan pengadilan HAM di Aceh. Ini harus segera diwujudkan agar tidak menimbulkan persoalan baru ke depan,” ujar legislator asal Pati, Jawa Tengah ini.
Ketiga, Firman juga mengingatkan soal misi monitoring perdamaian Aceh yang tercantum dalam perjanjian, namun hingga saat ini belum terbentuk. Ia menilai hal ini perlu segera mendapat perhatian agar komitmen perdamaian tetap terjaga secara berkelanjutan.
“Jangan sampai hal-hal penting ini terabaikan. Perjanjian Aceh adalah tonggak sejarah bangsa, dan revisi UU harus menjaga semangat serta komitmen yang sudah dibangun sejak awal,” tutup Firman. {golkarpedia}