KOMISI XIII DPR RI menyoroti sejumlah persoalan strategis terkait layanan hukum, keamanan perbatasan, dan kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama jajaran Kantor Wilayah Kemenkumham Kalimantan Timur, Ditjen Imigrasi, Ditjen Pemasyarakatan, dan instansi terkait lainnya. Rapat ini digelar di Balikpapan, Jumat (25/7/2025), dalam rangka kunjungan kerja masa reses.
Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Franciscus Maria Agustinus Sibarani atau Franky Sibarani, menyoroti keterbatasan fasilitas dasar di lapas, khususnya layanan kesehatan dan akses informasi bagi warga binaan.
“Fasilitas ibadah dan kesehatan di lapas sangat terbatas. Banyak warga binaan menderita penyakit serius, sementara tenaga medis di lapas sangat minim. Klinik lapas tidak cukup. Harus ada kemudahan akses berobat ke rumah sakit,” ujar Franky, berdasarkan kunjungannya ke delapan lapas di daerah pemilihannya di Kalimantan Barat.
Franky juga menyesalkan kurangnya transparansi informasi tentang remisi dan sisa masa tahanan yang seharusnya menjadi hak dasar narapidana.
“Banyak warga binaan tidak tahu kapan mereka bebas atau apakah mereka mendapatkan remisi. Informasi hanya disampaikan lewat ponsel, padahal seharusnya diumumkan secara berkala dan sistematis,” tambahnya, dikutip dari FraksiGolkar.
Isu lain yang menjadi sorotan adalah keberadaan jalur pelintasan tidak resmi (jalur tikus) di kawasan perbatasan. Franky menilai keberadaan jalur ilegal di Kalimantan masih kurang mendapatkan perhatian serius.
“Kalau di Kalbar, jalur tikus itu nyata. Tapi saya tidak melihat data dari Kalimantan Timur. Apakah memang tidak ada? Ini penting untuk keamanan nasional,” ungkapnya.
Data dari Ditjen Imigrasi menunjukkan lebih dari 400 kasus pelintas ilegal terdeteksi sepanjang 2024 di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, khususnya di Entikong dan Jagoi Babang. Namun upaya pengawasan masih terkendala faktor geografis dan keterbatasan pos imigrasi resmi.
Akses Posbakum dan Kebutuhan Paralegal
Franky juga menggarisbawahi perlunya perluasan akses Pos Bantuan Hukum (Posbakum) dan peningkatan jumlah paralegal di daerah terpencil.
“Saat masyarakat kecil berhadapan dengan aparat, mereka sering bingung harus bagaimana. Posbakum dan program paralegal harus menjangkau pelosok, supaya akses keadilan lebih merata,” tegasnya.
Data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyebutkan, hingga awal 2025 terdapat 2.130 Posbakum aktif, yang sebagian besar terkonsentrasi di kota-kota besar. Sementara di Kalbar, baru terdapat 42 unit, jauh dari cukup untuk menjangkau seluruh wilayah.
Komisi XIII DPR RI, kata Franky, menyampaikan dukungan penuh kepada Kemenkumham, termasuk penguatan anggaran untuk memperbaiki layanan dasar, baik di lapas maupun layanan keimigrasian dan bantuan hukum.
“Kami di Komisi XIII siap mendukung kementerian, agar bisa memperluas jangkauan layanan hukum dan pemasyarakatan,” katanya.
Kunjungan kerja ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret untuk memperkuat sistem hukum nasional, menjamin hak-hak warga binaan, serta memperketat pengawasan di wilayah perbatasan demi menjaga keamanan dan kedaulatan negara. []