Serap Aspirasi di Bali, Firman Soebagyo Dorong Revisi UU Pangan Lebih Berpihak pada Pangan Lokal

Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menegaskan bahwa Revisi Undang-Undang Pangan harus menjadi tonggak perubahan besar dalam cara bangsa melihat pangan. Saat melakukan serap aspirasi di Bali, Firman menilai diskursus pangan Indonesia selama ini masih terjebak dalam pola pikir lama: pangan identik dengan beras. Padahal, menurutnya, Indonesia memiliki potensi yang jauh lebih luas dan kaya.

“Pangan kita tidak boleh lagi dipersempit hanya pada beras. Ini harus menjadi kesadaran kolektif karena kita punya ratusan sumber pangan yang nilainya tidak kalah penting,” ujar Firman.

Ia menambahkan bahwa ketergantungan berlebihan pada satu komoditas membuat sistem pangan nasional tidak stabil. “Kalau persepsi ini tidak berubah, maka kita akan terus rapuh. Diversifikasi bukan hanya konsep teknis, tapi perubahan paradigma,” tegas Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini.

Firman menilai revisi UU Pangan harus mampu memberi kemudahan, insentif, sekaligus arah baru bagi pengembangan pangan alternatif. Ia menekankan bahwa diversifikasi tidak boleh berhenti pada jargon, melainkan harus didukung oleh ekosistem yang konkret.

“Inovasi pangan ini bukan sekadar teknologi canggih. Ini tentang kemampuan kita mengolah potensi lokal, meningkatkan nilai tambah, dan memberi ruang bagi pangan yang memang tumbuh dan hidup dari budaya masyarakat,” jelas Firman yang juga menjabat Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI.

Dalam pandangannya, inovasi yang tepat dapat menghasilkan subtitusi pangan yang sehat, terjangkau, dan adaptif terhadap kondisi tiap daerah. Selain menyoroti inovasi, Firman juga menekankan pentingnya membangkitkan kembali kebudayaan pangan lokal. Ia menyebut banyak makanan lokal yang secara historis menjadi pangan pokok masyarakat, namun tergeser oleh dominasi beras.

“Makanan lokal itu bukan hanya identitas, tetapi kekuatan ekonomi. Kalau kita gali, kembangkan, dan pasarkan dengan baik, ia bisa menjadi penggerak ekonomi kerakyatan,” tutur politisi senior Partai Golkar, Firman Soebagyo.

Firman menilai potensi pangan lokal seperti sagu, jagung, talas, sorgum, hingga umbi-umbian memiliki peluang besar untuk menjadi bagian dari kerangka ketahanan pangan modern. Untuk memperkuat argumen tersebut, Firman menekankan perlunya strategi besar pemerintah, terutama pada sektor hulu. Salah satu strategi yang dianggap krusial adalah klasterisasi sektor pertanian berbasis keunggulan lokal.

Menurutnya, klasterisasi bukan hanya tentang pemetaan wilayah, tetapi membangun pusat-pusat produksi yang efisien, terkoneksi, dan berdaya saing. “Kalau keunggulan lokal tiap daerah bisa diorganisir dalam klaster, maka produksi pangan akan jauh lebih efisien. Biayanya turun, kualitasnya naik, dan daya saingnya meningkat,” kata Firman.

Ia menjelaskan, klasterisasi harus didukung oleh pengembangan teknologi pertanian yang tepat guna, mulai dari benih unggul, teknologi budidaya, hingga pascapanen. Di samping itu, infrastruktur seperti jaringan irigasi, jalan produksi, cold storage, dan gudang harus dibangun secara merata agar akses produksi dan distribusi tidak lagi terhambat.

“Kita sering bicara produktivitas, tetapi lupa bahwa teknologi dan infrastruktur itu adalah fondasinya. Kalau fondasi lemah, diversifikasi akan jalan di tempat,” tambah legislator asal Pati, Jawa Tengah ini.

Tidak cukup dengan itu, Firman menegaskan pentingnya peningkatan kapasitas petani dan pelaku usaha pangan melalui pelatihan berkelanjutan. Ia menilai bahwa adaptasi teknologi dan pola pikir baru harus dibangun sejak tingkat akar rumput.

“Petani harus diberi edukasi, diberi contoh praktik baik, dan dibimbing agar bisa menghasilkan pangan alternatif yang berkualitas. Tanpa pelatihan, semua kebijakan akan berat berjalan,” jelasnya.

Firman juga mendorong pemerintah menerapkan kebijakan afirmatif, termasuk insentif finansial dan akses pembiayaan bagi petani dan UMKM yang fokus pada pangan alternatif. Langkah ini, menurutnya, harus diikuti oleh promosi dan pemasaran yang masif agar pangan alternatif tidak hanya diproduksi, tetapi juga dikonsumsi oleh masyarakat.

Kolaborasi antar stakeholder seperti pemerintah pusat, daerah, akademisi, dunia usaha, dan petani menurutnya wajib dibangun untuk memperkuat rantai pasok dan memastikan keberlanjutan diversifikasi.

Pada bagian akhir penjelasannya, Firman menegaskan bahwa Revisi UU Pangan bukan sekadar penyempurnaan regulasi, melainkan arah baru bagi masa depan pangan Indonesia.

“Kalau kita mampu mendorong inovasi, memperkuat subtitusi pangan, dan membudayakan makanan lokal, maka ketahanan pangan kita akan jauh lebih tangguh. Ini kerja besar dan panjang, tetapi harus mulai hari ini. Revisi UU Pangan harus menjadi pintu perubahan paradigma bangsa, bukan hanya perubahan pasal,” pungkasnya. {golkarpedia}