MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bakal evaluasi pengelolaan tambang di wilayah Raja Ampat. Langkah ini diambil menyusul temuan Greenpeace yang mengungkap adanya aktivitas pertambangan di beberapa pulau kecil di kawasan tersebut, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau-pulau kecil seperti itu sebenarnya dilarang untuk dijadikan lokasi tambang. “Nanti saya pulang (ke Papua), saya akan evaluasi,” ujarnya di acara Human Capital Summit 2025 di Jakarta, Selasa (3/6/2025), dikutip dari MetroTVNews.
Dia menjelaskan evaluasi tersebut akan melibatkan berbagai pihak, termasuk pemilik izin usaha pertambangan (IUP) di sekitar Raja Ampat, serta perwakilan badan usaha milik negara (BUMN) dan sektor swasta.
Menteri ESDM kemudian menekankan pentingnya menghargai kondisi khusus di Papua, yang memiliki otonomi khusus serupa dengan Aceh, sehingga perlakuan terhadap wilayah ini juga harus berbeda dan memperhatikan kearifan lokal yang ada.
“Jadi, perlakuannya di sana juga khusus. Saya melihat, ada kearifan-kearifan lokal yang belum bisa ditutup dengan baik,” duga Bahlil.
Lebih lanjut, Bahlil menambahkan penyelesaian masalah tambang ini akan berlandaskan pada analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Hal ini agar kegiatan pertambangan di Raja Ampat tidak merusak ekosistem dan tetap memenuhi aturan hukum yang berlaku.
“Nanti tambangnya itu akan kita selesaikan dengan amdal saja. AMDAL-nya seperti apa, pasti kita akan ikuti kaedah-kaedah yang berlaku,” ujar dia.
Dugaan Eksploitasi Nikel
Dalam keterangan resmi Greenpeace disebutkan, adanya dugaan eksploitasi nikel di ketiga pulau di sekitar Raja Ampat, yakni di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Aktivitas tambang tersebut dikatakan telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
Sejumlah dokumentasi yang dihimpun Greenpeace menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100 ribu.
“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal,” ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik dalam keterangan, Selasa (3/6/2025).
Dia menyebut industrialisasi nikel yang makin masif, seiring tren naiknya permintaan mobil listrik dinilai telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi.
“Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Iqbal.
Pihaknya pun menyayangkan aktivitas tambang di Raja Ampat, yang sering disebut sebagai surga terakhir di Bumi, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya.
Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. {}