Problematika Cukai Rokok Nasional

REAKSI terkejut Men­teri Keuangan Purbaya Yudhi Sa­de­wa soal tingginya tarif cu­kai hasil tembakau (CHT) cu­kup menyita perhatian 22 September 2025. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI bersama pejabat Kementerian Keuangan 10 September ­2025, saya menyampaikan keluhan industri lokal yang semakin berat menanggung harga cukai rokok. Pemerintah perlu meninjau ulang agar CHT 2026 mampu mem­beri jalan keluar bagi industri rokok dan temba­kau.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melaporkan, sepanjang 2024 lalu pendapatan bea dan cukai kita mencapai ­Rp 300,2 triliun, tumbuh 4,9% di­banding tahun sebelumnya. Angka ini setara 93,5% target APBN. Dari jumlah tersebut, Rp 216,9 triliun atau 72,3% berasal dari CHT. Artinya, kontri­busi temba­kau sangat besar bagi pe­ne­rimaan negara. Pe­larang­an atau penurunan dras­tis konsumsi berpotensi menggerus kas negara.

Namun, tahun 2025 menjadi catatan kelam. Industri rokok nasional, yang selama ini menyerap jutaan tenaga kerja, justru terpuruk. BPS mencatat kontraksi 3,77% pada kuartal I/2025, ber­banding terbalik dengan pertumbuhan positif 7,63% pada periode sama tahun sebelumnya. Produksi rokok semester I/2025 hanya 142,6 miliar batang, turun 2,5%—angka terendah delapan ta­hun terakhir. Dua faktor utama penyebabnya adalah tarif cukai yang tinggi dan kuota sigaret kretek mesin (SKM) yang minim. Kombinasi ini me­micu gelombang pemu­tus­an hubungan kerja (PHK) massal.

Ancaman

Kebijakan cukai ketat da­lam beberapa tahun terakhir membuat industri tertekan. Meski tarif tidak naik di 2025, penyesuaian harga jual eceran (HJE) melalui PMK No. 97/2024 tetap membuat rokok kian sulit dijangkau. Contohnya, HJE SKM go­long­an I naik 5% menjadi Rp 2.375 per ba­tang, sementara HJE SKT golong­an III me­lonjak 18,6% ke Rp 860 per batang.

Kenaikan ini memperburuk daya beli masyarakat yang sudah tertekan inflasi. Konsumen pun beralih ke ro­kok ilegal yang lebih murah karena bebas pajak.  Lo­gi­kanya sederhana, semakin besar cukai, semakin su­bur peredaran ilegal. Hing­­­ga ku­ar­tal I-2025, Bea Cukai me­nindak 257 juta ba­tang ro­kok ilegal senilai Rp 367 mi­liar.

Pemerintah memang ber­usaha memberi “napas” bagi industri dengan tidak me­naik­kan cukai di 2025. Namun, penyesuaian HJE tetap dilakukan per 1 Januari 2025. Akibatnya, harga pa­saran tidak boleh lebih rendah dari batas HJE baru.

Sementara itu, penindak­an terhadap barang ilegal jus­tru meningkat. Dalam enam bulan pertama 2025, Bea Cukai mencatat 13.248 kasus ba­rang ilegal senilai Rp 3,9 triliun, dan 61% di antaranya rokok. Jumlah batang rokok ilegal yang disita naik 38% dibanding perio­de sama ta­hun sebelumnya.

Selain tarif, kuota produksi SKM yang rendah menambah beban produsen. Kebijakan yang dirancang untuk menekan konsumsi ini ma­lah menimbulkan distorsi pasar. Gudang Garam, mi­sal­nya, mencatat penurunan penjualan dari 95,9 miliar batang (2019) menjadi 53,1 miliar batang (2024), atau turun 44,7%. Semester I/­2025, laba bersihnya me­ro­sot 87,3% menjadi Rp 117,1 mi­liar. Perusahaan pun me­la­­kukan efisiensi dengan mem­berhentikan 309 pega­wai meski disebut sebagai pensiun normal.

Tekanan serupa dirasakan usaha kecil dan menengah. Di Jawa Timur, pusat industri rokok, banyak pabrik kecil mengurangi operasional atau gulung tikar. Pabrik yang dulunya mempekerjakan ribu­an orang kini hanya bertahan dengan ratusan atau bah­kan puluhan karyawan. Serikat pekerja di Yogyakarta melaporkan penurunan produksi hingga 20% sepanjang 2025.

Jalan keluar

Gelombang PHK di sektor rokok bukan lagi ancaman, tetapi sudah nyata di lapang­an. Jika dibiarkan, dam­pak­nya akan merembet ke seluruh rantai nilai, dari pabrik hingga petani tembakau. Oleh ka­rena itu, pemerintah perlu segera meninjau ulang kebijakan cukai.

Pertama, perlu ada moratorium kenaikan tarif cukai minimal tiga tahun ke depan. Kebijakan ini memberi kesempatan industri untuk menata diri, sementara pemerintah fokus memperkuat penegakan hukum terhadap rokok ilegal. Dengan memberantas pasar ilegal, penerimaan cukai bisa tetap me­ning­kat tanpa menambah be­ban industri.

Kedua, pemerintah harus mengkaji ulang kuota SKM, khususnya Golongan III, yang selama ini menjadi pe­nopang pengrajin rokok kecil. Harga pita cukai yang tinggi dan keterbatasan kuota membuat sebagian produsen terpaksa menjual tanpa pita resmi. Ini justru mem­perluas pasar ilegal.

Ketiga, perlu ada kajian menurunkan tarif golongan I–II serta memberikan tarif lebih ringan pada SKM golongan III. Dengan begitu, industri kecil bisa tetap bertahan sekaligus terdorong untuk taat aturan. Hal ini sejalan dengan arahan presiden agar ekonomi tumbuh lebih cepat dan kuat.

Jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi cu­kai, memperbesar kuota produksi, dan memberantas rokok ilegal, ancamannya ti­dak hanya pada penerimaan negara. Jutaan pekerjaan berisiko hilang, dan kerugian sosial-ekonomi akan jauh lebih besar daripada tam­bah­an pendapatan cukai jang­ka pendek. {Pikiran-Rakyat}

Oleh: Eric Hermawan, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar