WAKIL Ketua Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Nurdin Halid menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta pemilu nasional dan daerah dipisah. Nurdin menilai MK telah melampaui kewenangannya dan menjadi pembentuk norma baru selain DPR serta pemerintah.
“MK sudah terlampau jauh memasuki ranah pembentuk undang-undang sehingga sejumlah putusan MK menjadi polemik konstitusional. MK memasuki ranah yang bukan menjadi kewenangan MK,” kata Nurdin kepada wartawan, Sabtu (5/7/2025), dikutip dari Detik.
“Dalam UUD 1945, kewenangan MK ialah menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum,” sambungnya.
Nurdin menilai putusan MK tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 juncto ayat 2. Di mana, dalam pasal tersebut menyatakan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali, termasuk pemilihan DPRD.
“Keputusan MK ini tidak hanya cacat secara konstitusional, tetapi menimbulkan ketidakpastian terhadap demokrasi, sistem tata negara, perencanaan pembangunan, sistem pemerintahan daerah, tata kelola pemilu, keuangan negara serta membingungkan publik dan masyarakat,” jelas Nurdin.
Menurutnya, MK mengubah konstruksi UUD 1945 dan mengabaikan substansi serta filosofi Pasal 18 UUD 1945. Maka, dia menilai putusan MK dengan menjadikan rezim pilkada menjadi rezim pemilu berkonsekuensi memperluas kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa pilkada.
“Keputusan ini jelas membuat kegaduhan konstitusional yang pelik. Implikasi lain dari keputusan ini secara konstitusional juga sangat kompleks,” ujarnya.
“Penyelarasan terhadap UU Pemda terkait Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih untuk masa jabatan 5 tahun terhitung sejak pelantikan. Belum lagi pengaturan tentang masa kekosongan DPRD di daerah,” lanjut dia.
Meski begitu, Nurdin mengaku menghormati putusan MK tersebut. Namun, dia mengingatkan kewenangan MK hanya berupa membatalkan UU jika dinilai bertentangan dengan konstitusi.
“Masalahnya, putusan MK bersifat final and binding. Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa putusan MK hari ini yang bersifat final and binding tidak dibatalkan oleh hakim-hakim MK periode berikutnya. Jika demikian, berarti MK telah menjelma menjadi lembaga yudikatif sekaligus legislatif,” ujar Nurdin.
“Makin membingungkan karena MK bisa membatalkan putusan MA,” tambahnya.
Nurdin lantas mendorong MPR untuk menggelar Sidang Istimewa untuk mengembalikan UUD 1945. Menurutnya, MPR perlu melakukan amandemen UUD 1945.
“Saya mendorong MPR melakukan Amandemen kembali ke UUD 1945 yang asli dan utuh. Selain itu, Sidang MPR juga membuat Tap MPR untuk menafsir secara resmi Pasal-Pasal UUD 1945 mengingat Bagian Penjelasan dalam UUD 1945 yang asli sudah dihapus. Jadi, baik DPR dan DPD maupun lembaga tinggi negara yang lain harus mengacu pada penafsiran resmi yang tertuang dalam TAP MPR,” tuturnya.
Sebagai informasi, sejumlah partai politik mengkritik putusan MK terkait pemisahan pemilu. Beberapa partai menilai putusan MK tersebut berpotensi melanggar konstitusi.
Selain itu, ada pula partai politik yang berpandangan jika MK selalu mengubah-ubah putusannya. Saat ini MK dinilai telah menjadi pembentuk norma baru di luar DPR dan pemerintah. []