MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan larangan untuk Indonesia melakukan ekspor komoditas mentah. Dia khawatir negara ini akan kembali terjebak dalam kondisi seperti pada masa penjajahan Belanda melalui Vereenigde Oost Indische Company (VOC).
Oleh karena itu, Bahlil menekankan pentingnya swasembada energi dan hilirisasi dalam pengembangan energi nasional. Menurut Bahlil, hilirisasi tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi juga memperkuat ketahanan energi di Indonesia.
“Sebagai Menteri ESDM, saya ingin menekankan bahwa pembangunan energi nasional hari ini mengusung misi besar, yaitu swasembada energi dan hilirisasi,” kata Bahlil dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Sabtu (19/7/2025), dikutip dari Merdeka.
Untuk menjalankan amanah hilirisasi di sektor energi, dia mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya mendorong reaktivasi sumur migasĀ idle, pembangunan infrastruktur gas, serta hilirisasi sektor minerba. Selain itu, pemerintah juga melakukan percepatan transisi energi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan inovasi teknologi.
Pada prinsipnya, Bahlil menjelaskan bahwa hilirisasi berarti mengolah bahan mentah menjadi barang jadi. Dengan demikian, tidak ada lagi ekspor bahan mentah karena seluruh proses pengolahan dilakukan di dalam negeri.
“Jangan lagi mengirim bahan mentah, nilai tambahnya di luar, kita cuma main ekspor material bahan baku. Kalau seperti itu apa bedanya kita dengan zaman VOC?” ungkap Bahlil.
“VOC itu 390 tahun mengirim bahan baku yang membuat negara-negara lain candu terhadap sumber daya kita,” tegasnya.
Bahlil menekankan bahwa selama ini, negara-negara lain mengandalkan pasokan bahan baku dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pabrik mereka. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk sepenuhnya menerapkan program hilirisasi, yang bertujuan untuk mengolah komoditas hingga menjadi produk jadi.
Dia memberikan contoh yang konkret mengenai ekosistem baterai untuk mobil listrik di Indonesia, yang telah menarik investasi sebesar USD 20 miliar. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai produsen baterai terbesar kedua di dunia, setelah China.
“Nanti bulan November ada investasi USD 100 miliar atau Rp100 triliun. Sekarang kita akan membangun lagi dari China dan Korea, itu sekitar USD 8 miliar yang juga menjadi salah satu yang terbesar dalam mengolah bahan baku nikel hingga menjadi cell battery. Bahkan Presiden Prabowo meminta hingga menjadi mobil listrik,” tuturnya. []