MENTERI Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN Wihaji mengatakan bahwa gerakan ayah mengantarkan anak di hari pertama sekolah menjadi simbol perubahan budaya pengasuhan dalam keluarga.
Hal tersebut disampaikan Wihaji saat mengunjungi SMAN 9 Jakarta untuk memantau secara langsung gerakan tersebut, yang bertujuan meningkatkan peran pengasuhan ayah terhadap anak, dan termasuk salah satu program terbaik hasil cepat atau quick wins Kemendukbangga/BKKBN, yakni Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI).
“Gerakan ini juga menjadi simbol perubahan budaya pengasuhan di Indonesia. Dari yang semula terpusat pada peran ibu, menjadi lebih kolaboratif dan setara,” katanya di Jakarta, Senin (14/7/2025), dikutip dari Antara.
Gerakan ayah mengantar anak di hari pertama sekolah tersebut dilandasi Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Nomor 7 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah, yang bertujuan untuk mengatasi krisis fatherless di Indonesia, yakni minimnya keterlibatan figur ayah dalam pengasuhan anak.
“Berdasarkan data, 20,9 persen anak Indonesia mengalami fatherless atau kehilangan ayahnya,” ujar dia.
Menurutnya, karakter orang tua penting untuk pertumbuhan anak, karena saat ini, banyak anak yang telah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) merasa malu atau gengsi untuk berinteraksi lebih dalam dengan orang tua, termasuk ayah, karena mereka merasa telah dewasa.
Ia juga menyoroti penggunaan gawai yang kini seolah menjadi anggota baru keluarga. Meski tidak anti terhadap penggunaan gawai, tetapi Wihaji mengingatkan penggunaan gawai yang berlebihan akan sangat mempengaruhi pola komunikasi anak dan orang tua.
“Berdasarkan hasil survei, rata-rata anak menggunakan handphone 8,5 jam dalam sehari. Akibatnya, mereka sangat kurang berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak kita hari ini seperti kehilangan orang tua, ada tapi seperti tidak ada. Hal ini karena ada handphone yang saya sebut dengan keluarga baru,” ucapnya.
Penggunaan gawai yang berlebihan, lanjut dia, menjadi penyebab kurangnya interaksi antara ayah dan anak, yang berdampak pada melemahnya karakter anak, sehingga muncullah generasi yang disebut dengan generasi stroberi.
Generasi stroberi adalah generasi muda yang dianggap memiliki potensi besar namun juga mudah merasa tertekan atau rapuh, seperti buah stroberi yang tampak indah dari luar tetapi mudah hancur jika terkena tekanan.
Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Sarjoko menyampaikan program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, salah satunya yakni tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat.
“Ini adalah bagian keseharian kita sesungguhnya, baik aktivitas dalam keluarga maupun sekolah yang diawali dengan kegiatan bangun pagi, beribadah, olahraga, makan bergizi sehat, tempat belajar, bermasyarakat, tidur cepat,” ujar Sarjoko.
Tujuh kebiasaan tersebut tidak selamanya berlangsung di sekolah, tetapi ada yang dilakukan bersama orang tua. Ia menegaskan, kurangnya interaksi antara anak dan orang tua dapat menyebabkan mereka tidak tumbuh dengan kondisi emosional yang baik.
“Mendidik anak tidak hanya tanggung jawab sekolah karena orang tua mengambil peran saat anak bersama keluarga. Mari, perankan peran kita bersama, baik yang di sekolah maupun di rumah,” ucap Sarjoko. []