SEPEKAN terakhir, mata publik Indonesia tertuju pada Raja Ampat, bukan karena pesona alamnya, melainkan polemik tambang nikel yang mencuat dipicu laporan Greenpeace Indonesia dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Disinyalir, sejumlah Izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi di kawasan hutan lindung dan area konservasi mengancam ekosistem, keanekaragaman hayati, serta ruang hidup masyarakat adat Papua Barat.
Urgensi perlindungan terhadap Raja Ampat menjadi semakin tinggi setelah pada tahun 2023 wilayah ini resmi ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Kekayaan geologis, biologis, dan kultural yang dimiliki kepulauan Raja Ampat, menjadikannya salah satu kawasan paling penting di dunia dalam konteks konservasi dan warisan alam. Namun ironisnya, beberapa konsesi tambang ditemukan bersinggungan dengan kawasan bernilai tinggi tersebut.
Presiden Prabowo Subianto bergerak cepat dengan memerintahkan pencabutan sejumlah IUP bermasalah. Kebijakan ini tidak semata respons populis, melainkan bagian dari penataan ulang tata kelola sumber daya alam. Tindakan ini menegaskan bahwa negara tidak boleh lagi bersikap permisif terhadap aktivitas eksploitasi yang mengancam kawasan bernilai konservasi tinggi.
Komitmen Pembangunan Berkelanjutan dan Ekologi Politik
Langkah pencabutan IUP ini mempertegas komitmen pemerintah yang selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diuraikan dalam Our Common Future oleh World Commission on Environment and Development (1987). Pendekatan yang pada pokoknya menuntut keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.
Dalam konsep keadilan ekologis, hal ini menjadi bentuk perlindungan terhadap kelompok rentan termasuk masyarakat adat sering menjadi korban utama dari kebijakan lingkungan yang bias terhadap kepentingan Industri, serta kerap menjadi korban ketimpangan distribusi risiko lingkungan.
Raja Ampat bukan hanya sekadar ikon wisata, tetapi juga warisan dunia dengan berbagai kekayaan hayati, yang haram dikompromikan dengan kepentingan ekstraktif semata.
Upaya pemerintah juga dapat ditelaah melalui lensa ekologi politik, sebagaimana dijelaskan Piers Blaikie dalam The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries (1985), bahwa kerusakan lingkungan sering kali berakar pada ketimpangan relasi kuasa dan kebijakan yang tidak prorakyat. Dalam konteks Raja Ampat, kemungkinan IUP dikeluarkan tanpa proses partisipatif dan sering kali bertabrakan dengan kepentingan masyarakat lokal.
Namun, pencabutan izin tidak berarti menolak kontribusi sektor tambang terhadap penerimaan negara. Sebaliknya, ini membuka ruang untuk mendorong reformasi tambang berbasis efisiensi, kepatuhan hukum, dan keberlanjutan. Negara tetap bisa memperoleh manfaat ekonomi tanpa harus mengorbankan kelestarian ekosistem.
Kepatuhan Dunia Usaha dan Legitimasi Korporasi
Dari seluruh IUP yang dicabut, satu perusahaan tetap diizinkan beroperasi, yakni PT GAG Nikel. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan publik, namun jika ditelusuri lebih dalam, PT GAG Nike! memang memiliki kekhususan.
Wilayah pertambangan PT GAG Nikel berlokasi di luar kawasan Geopark Raja Ampat, serta telah mendapatkan pengecualian atas larangan penambangan terbuka di hutan lindung melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Lebih lanjut, perusahaan ini juga telah beroperasi sejak era Orde Baru dengan dasar hukum Kontrak Karya (KK), yang berlaku sebelum lahirnya sistem IUP berdasarkan UU Minerba.
PT GAG Nikel yang diketahui berada di Pulau Gag dengan luas 65 Km2, termasuk kategori pulau kecil apabila merujuk definisi dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di sinilah persoalan hukum mencuat.
Meskipun tidak termasuk kawasan Geopark, sebagian publik menilai aktivitas perusahaan bertentangan dengan Putusan MK Nomor 35/PUU- XXI/2023, yang secara eksplisit melarang aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Dengan demikian, meskipun PT GAG tetap diizinkan, kegiatan operasionalnya tetap perlu diawasi dengan prinsip kehati-hatian ekologis.
Kelanjutan operasional PT GAG Nikel mutlak dilakukan melalui pendekatan green mining. Pertambangan yang berkelanjutan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, meminimalkan pencemaran dan kerusakan, memastikan rehabilitasi dan reklamasi, serta transparansi pengelolaan dampak wajib dilakukan oleh korporasi. Bila hal ini dijalankan dengan ketat dan transparan, maka keseimbangan antara konservasi dan kontribusi ekonomi dapat terwujud.
Jika terbukti menyalahi prinsip hukum lingkungan, maka peninjauan kembali terhadap legalitas operasionalnya menjadi keharusan. Pengawasan ketat mutlak diperlukan agar sesuai koridor UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebagaimana dikemukakan oleh Craig Deegan (Financial Accounting Theory, 2002) teori legitimasi korporasi menjadi relevan.
Keberlanjutan bisnis tidak hanya ditentukan oleh profit, tetapi juga oleh sejauh mana perusahaan dapat mempertahankan legitimasi sosialnya, yakni penerimaan masyarakat dan kepatuhan terhadap norma lingkungan dan etika publik. PT GAG Nikel dapat tetap beroperasi bukan karena diistimewakan, melainkan karena masih berada dalam koridor regulasi dan konseptual, dengan prasyarat tetap mematuhi ketentuan lingkungan hidup dan prinsip keadilan sosial.
Respons Cepat Menteri ESDM dan Harmonisasi Regulasi Lintas Sektoral
Apresiasi patut diberikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang responsif menindaklanjuti instruksi presiden dengan terjun ke lapangan dan segera mencabut IUP bermasalah tersebut. Tindakan ini tidak hanya menunjukkan efektivitas koordinasi presiden dan kementerian terkait, tetapi juga keseriusan dalam melakukan penertiban kawasan hutan untuk mengevaluasi legalitas dan dampak ekologis berbagai aktivitas usaha dalam kawasan hutan sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025.
Hal ini sekaligus mengafirmasi arah kebijakan pemerintah yang ingin memastikan praktik pertambangan tidak hanya legal secara administratif, tetapi juga legitimate secara ekologis dan sosial, sebagaimana konsep good environmental governance (UNDP, 1997).
Menteri ESDM telah menunjukkan bahwa reformasi tambang bukan wacana kosong, tetapi dijalankan secara nyata. Kisruh Raja Ampat ini mengungkap persoalan yang lebih dalam, tidak hanya lemahnya pengawasan, tetapi juga kekacauan regulasi antar sektor.
Tumpang tindih antara regulasi kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukkan perlunya langkah strategis dari DPR RI dalam melakukan harmonisasi legislasi lintas sektoral.
DPR perlu menyelaraskan beleid tersebut, dalam suatu kerangka hukum yang komprehensif, untuk mencegah tumpang tindih regulasi, dan menegaskan standar lingkungan yang ideal dan menghindari celah hukum yang acapkali dimanfaatkan oknum tertentu.
Harapannya, peristiwa ini menjadi momentum strategis untuk menertibkan sektor pertambangan nasional secara menyeluruh. Penataan kawasan hutan, audit atas seluruh IUP dan KK, serta penguatan peran masyarakat lokal adalah tiga pilar utama menuju keadilan ekologis yang sejati. [Detik]
Oleh: Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI