Kebebasan Berpendapat antara Hak dan Kultur Demokrasi Indonesia

KEBEBASAN berpendapat atau kebebasan berekspresi (freedom of speech) merupakan salah satu landasan fundamental demokrasi yang sangat dihargai. Konsep ini berhubungan dengan hak dasar setiap warga negara untuk mengekspresikan informasi dan ide tanpa rasa takut terhadap penguasa atau sensorship penguasa. Kebebasan berpendapat memberi ruang bagi warga negara untuk saling bertukar pikiran, berdebat secara bebas, dan membangun masyarakat yang sadar akan informasi. Dibanyak negara, termasuk Indonesia, konsep kebebasan berpendapat diadopsi sebagai prinsip politik dan hukum yang mapan.

Kebebasan berpendapat menjamin warga negara untuk secara terbuka menanyakan, mengeritik, atau mendebat kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat tanpa rasa khawatir terhadap penguasa. Pada dasarnya hak ini bertujuan untuk mendorong Pemerintah agar akuntabel dan transparan dalam menyusun dan mengimplementasikan suatu kebijakan atau mengelola anggaran publik.

Saat ini di Indonesia, kita menyaksikan bagaimana publik dengan bebas menggunakan media sosial untuk mengeritik, memberi saran kepada, atau menertawai pemerintah, wakil-wakil rakyat di DPR RI, dan penegak hukum. Terkadang kritik itu nampak sebagai penghinaan terhadap personal, kata-kata kasar yang menantang, pelecehan gender, perundungan, ujaran kebencian hingga ungkapan rasis. Publik dunia maya atau netizen mengeritik atau lebih cenderung menghujat anggota DPR RI, menteri, atau polisi yang dianggap tidak bekerja untuk kepentingan publik.

Meski konsep kebebasan berbicara dipuja sebagai pola dasar demokrasi, ahli komunikasi Fara Dabhaoiwala memperingatkan bahwa kebebasan berpendapat memiliki potensi berbahaya untuk dua alasan. Pertama, ide ini akan mengubah kebiasaan, memberi suara bagi para pemberontak dan memicu orang-orang untuk memberontak. Hal ini yang banyak disukai publik. Kedua, ide ini sangat mudah dimanipulasi oleh orang atau kelompok berkuasa, jahat, mementingkan diri atau kelompoknya sendiri untuk mendapatkan keuntungan pribadi, mendiamkan orang lain, menyebar perselisihan, dan menyembunyikan kebenaran. Hal inilah yang ditakutkan oleh warga sipil.

Namun diantara potensi berbahaya itu, sesungguhnya hak untuk berbicara dengan terbuka dan transparan dimaksudkan untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum, tentang kebijakan atau tindakan penguasa yang menyangkut kepentingan public dijamin oleh kebebasan berpendapat. Bagi budaya Eropa, kebebasan berekspresi berada pada titik penting tentang bagaimana orang-orang berbicara tentang politik, tentang kebijakan, dan tentang kepentingan publik. Kafe-kafe dipenuhi oleh aktivis yang secara terbuka mengeritik anggota parlemen atau menteri yang tidak becus.

Di Amerika Serikat (AS), kebebasan berpendapat dijamin dan dilindungi dalam Amendemen Pertama Konstitusi AS yang melarang Kongres membuat undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara atau berekspresi. Warga AS memiliki kultur terbuka dan egaliter, sehingga kalimat menyerang atau pendapat yang tidak popular bahkan beberapa ungkapan menghina dilindungi oleh Amandemen Pertama. Andrew Marantz, seorang penulis utk majalah the New Yorker menunjukkan rasa frustasi terhadap hak ini dengan menyatakan bahwa kebebasan berpendapat dapat membunuh kita, ujaran kebencian mengantar orang-orang berselisih paham hingga saling membunuh.

Sementara itu di Indonesia, kebebasan berpendapat atau berbicara dijamin oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3) berbunyi “ Setiap orang berhak atas kebebasan, berserikat berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namun mengantisipasi keliaran infomasi di dunia maya, Pemerintah Indonesia membatasi hak berekspresi tersebut dengan peraturan UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Para netizen Indonesia tentu merasa tidak nyaman dengan UU ITE karena membatasi gerak netizen untuk berekspresi dan mengeritik secara online. Pembuat kebijakan di negeri ini mengantisipasi pertumbuhan pertukaran informasi di era digital atau the age of cyberspace yang sangat cepat, tak terbendung. Pada era ini setiap orang dapat bpendapat dan berekspresi hampir tanpa batas. Para netizen menguasai dunia maya dengan bebas menggunakan nama samaran atau anonim.

Mereka tidak merasa takut untuk mengungkap apa saja yang ada dipikirannya benar atau salah, atau meneruskan berita dan informasi dari orang yang tidak dikenalnya, entah itu nyata atau ilusi, atau ada di antara mereka yang menciptakan cerita fiksi bahkan fitnah untuk sekedar masuk pada lingkaran dunia tersebut. Karena itu UU ITE dianggap penting oleh Pemerintah untuk melindungi netizen dan publik dari hoax, fitnah, dan perundungan.

Meski kebebasan berpendapat atau berekspresi bersifat universal, konsep ini memiliki makna berbeda untuk kultur yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari perbandingan antara keterbukaan seperti di AS, negara-negara Eropa, dan tingginya keterlibatan pemerintah dan sensorship di negara-negara seperti China, Korea Utara, dan Eritrea.
Di Indonesia, para netizen masih bisa berkreasi karena kebebasan berpendapat tidak dibatasi seperti di China meskipun tidak terbuka bebas seperti AS.

Di Indonesia ada kultur demokrasi berlandaskan Pancasila yang menekankan adab dan adat saling menghormati dalam interaksi antar manusia. Karena itu seharusnya setiap individu di negeri ini memahami bahwa komunikasi itu terjadi karena ada aturan yang diikuti. Orang-orang dapat mempergunakan hak untuk berpendapat secara formal dan informal, namun mereka harus mengetahui bahwa konsep kebebasan berpendapat tidak melindungi ujaran kebencian, penghinaan, rasisme, pernyataan tentang kekerasan, atau perundungan (bullying).

Hampir semua negara di dunia memiliki kultur yang melindungi kebebasan berpendapat yang patuh pada etika, berdebat dengan pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, dan mendorong pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan transparan. Karena itu setiap netizen yang waras harus tahu bahwa kebebasan berpendapat adalah hak yang terfokus pada koreksi terhadap kinerja cabang-cabang pemerintah termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Karena itu, kebebasan tidak pernah terdistribusi secara merata atau tidak berlaku untuk semua bentuk ekspresi. Meskipun Thomas Jaferson, Presiden AS ke 3 menyatakan bahwa, dia lebih memilih kebebasan berpendapat yang berbahaya daripada perbudakan yang damai. Namun setiap orang tahu bahwa kebebasan itu juga butuh batasan. []

Oleh: Notrida Mandica, PhD, Sekretaris Eksekutif Balitbang Partai Golkar

Leave a Reply