MENTERI Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid meminta masyarakat segera melakukan pemutakhiran data sertifikat tanah lama yang terbit antara tahun 1961 hingga 1997.
Permintaan ini sebagai buntut dari adanya polemik terkait lahan seluas 16 hektare yang diakui milik dua pihak, yakni PT Hadji Kalla dan GMTD.
“Dengan adanya kasus Pak JK ini menjadi momentum. Momentum kepada masyarakat yang punya sertifikat terbit di 1997 ke bawah hingga 1961 untuk segera didaftarkan ulang dan dimutakhirkan,” ujarnya usai rapat koordinasi bersama sejumlah kepala daerah di Sulawesi Selatan, Kamis (13/11/2025), dikutip dari Antaranews.
Menurutnya, sertifikat pada periode tersebut banyak yang belum memiliki peta kadasteral atau belum masuk ke sistem digital nasional, sehingga kerap menimbulkan tumpang tindih data dan potensi konflik pertanahan.
Kata Nusron, dari kasus tanah milik mantan Wakil Presiden itu, pihak Kementerian ATR melakukan evaluasi menyeluruh secara nasional. Hasilnya, mengimbau ke masyarakat agar melakukan pemutakhiran data sertifikat tanah lama.
“Sudah kami evaluasi. Kasus tanah pak JK sertifikat terbit tahun 1996 awalnya. Isunya itu tumpang tindih jadi segera pemutakhiran, jangan sampai diserobot orang, apalagi yang tanahnya banyak dan belum terdaftar. Maka segera didaftarkan, pentingnya di situ, dan dikasih batas-batas yang jelas,” urainya.
Dia menyebutkan, dari hasil pendataan nasional, masih terdapat sekitar 4,8 juta hektare lahan di Indonesia yang berpotensi bermasalah akibat tumpang tindih data sertifikat.
Karena itu, ia meminta pemerintah daerah untuk segera menginstruksikan camat, lurah, RT, dan RW agar masyarakat pemegang sertifikat lama datang ke kantor BPN untuk memutakhirkan datanya. “Ini penting untuk menghindari konflik. Jangan sampai jadi bom waktu di kemudian hari,” kata dia menegaskan.
Terkait polemik satu objek lahan dengan dua sertifikat yang telah terbit, diakui Nusron menjadi kesalahan internal Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat itu, dan diakui pula adanya kekeliruan di internal BPN. “Itu harus kami akui. Kenapa? karena itu kami benahi sekarang supaya yang seperti ini tidak terulang,” kata dia. []











