ANGGOTA Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo menyoroti keprihatinannya tentang anggaran yang masih minim dan lemahnya penegakan hukum terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hal ini ia sampaikan dalam forum Dialektika DPR RI di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (31/07/2025).
“Kita ini punya undang-undang yang melarang pembakaran hutan, seperti UU No. 41 tentang Kehutanan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tapi kenyataannya penegakan hukumnya masih lemah,” ujar Firman, dikutip dari laman DPR RI.
Meski demikian, ia juga memahami bahwa terdapat regulasi yang mengizinkan masyarakat untuk membuka lahan dengan cara membakar hutan seluas 2 hektar. Regulasi ini merupakan celah yang memiliki potensi untuk disalahgunakan.
Diketahui, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010, dijelaskan bahwa masyarakat hukum adat dapat melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimum 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal, dan wajib memberitahukan kepada kepala desa.
Firman juga menjelaskan bahwa masih banyak aparat penegak hukum yang melakukan pembiaran, bahkan diduga terlibat dalam praktik pembakaran hutan secara ilegal. “Kalau di belakangnya ada baju hijau, baju coklat, dan bahkan oknum legislatif, penegakan hukum bisa melemah,” ujarnya.
Dari sisi anggaran, Firman menyoroti bahwa alokasi dana untuk sektor kehutanan di APBN sangat tidak memadai. “Anggarannya tidak pernah mencapai 10 triliun, padahal kita punya hutan tropis terbesar keempat di dunia,” ujar Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Ia menilai minimnya anggaran berdampak langsung pada kurangnya kesiapan peralatan pemadam kebakaran dan sumber daya manusia di lapangan.
Di sisi lain, ia juga menyadari kinerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menurutnya masih sangat terbatas. Hal itu karena terbebani banyak tugas lintas bencana, tetapi tidak mendapat dukungan sumber daya dan peralatan yang memadai, termasuk kurangnya helikopter dan pesawat pemantau titik api.
Sebagai solusi, Firman menyarankan agar dibentuk lembaga baru yang dikhususkan untuk menangani perlindungan lingkungan dan kebakaran hutan. Hal ini mencontoh negara Brasil yang memiliki lembaga IBAMA (Instituto Brasileiro do Meio Ambiente). “IBAMA itu memiliki kewenangan kuat sebagai regulator sekaligus penegak hukum. Kita perlu lembaga semacam ini di Indonesia,” tegasnya.
Firman berharap pemerintah dapat segera membenahi struktur kelembagaan, meningkatkan anggaran, dan memperkuat edukasi publik serta koordinasi lintas kementerian untuk mengatasi persoalan ini secara sistemik. []