DOSEN tetap pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya, dan Universitas Pertahanan (Unhan), Bambang Soesatyo mengingatkan sistem demokrasi Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat praktik politik transaksional dan menguatnya dominasi oligarki. Transaksi kekuasaan, politik uang, dan pembagian jabatan menjadi ciri utama praktik politik paska reformasi.
Kondisi tersebut, kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini, membuat demokrasi kehilangan roh ideologisnya sebagai perwujudan demokrasi Pancasila yang berlandaskan musyawarah, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral pemimpin terhadap rakyat. Telah jauh bergeser dari nilai sila Keempat Pancasila, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
“Demokrasi yang kita jalankan sekarang sering kehilangan hikmat dan kebijaksanaan karena lebih didorong oleh kepentingan pragmatis,” ujar Bamsoet, saat mengajar mata kuliah “Pancasila” Program Sarjana (S1), di Kampus Universitas Borobudur Jakarta, Senin (3/11/2025), dikutip dari RakyatMerdeka.
Ketua DPR ke-20 dan Ketua MPR ke-15 ini menegaskan, demokrasi Pancasila sejatinya bukan sekadar sistem pemilihan langsung, tetapi sistem yang menempatkan musyawarah sebagai inti pengambilan keputusan, serta menjamin keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif bangsa.
Prinsip tersebut seharusnya diterjemahkan ke dalam sistem politik yang deliberatif, partisipatif, dan berbasis kebijakan publik yang rasional, bukan pada transaksi ekonomi-politik. Namun, realitas politik yang terjadi justru menunjukkan arah sebaliknya. Biaya politik di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Data KPK dan LIPI memperkirakan, biaya kampanye untuk menjadi kepala daerah bisa mencapai antara Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Sementara untuk kursi DPR RI berkisar Rp 5 miliar hingga Rp 50 miliar.
Biaya politik yang setinggi itu memaksa calon mencari sponsor, dan sponsor inilah yang kemudian meminta imbalan dalam bentuk proyek, proteksi, regulasi, atau jabatan. “Maka lahirlah sistem yang dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan ekonomi dan berkuasa,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, struktur politik yang mahal telah menjadikan demokrasi sebagai ‘ladang investasi’ bagi para pemodal. Rakyat hanya menjadi penonton dalam pesta demokrasi, sementara kebijakan negara ditentukan oleh mereka yang punya kekuatan finansial.
Fenomena ini memperkuat oligarki yang tumbuh subur di balik layar kekuasaan. Padahal, demokrasi Pancasila menolak segala bentuk dominasi ekonomi maupun politik yang menindas kedaulatan rakyat.
Bamsoet menegaskan, demokrasi Pancasila bukan sistem yang anti modern, melainkan sistem yang menempatkan etika dan moralitas sebagai fondasi.
“Prinsip musyawarah dalam sila Keempat dapat diadaptasi ke dalam mekanisme demokrasi modern melalui dialog publik, forum kebijakan terbuka, hingga citizen assemblies yang melibatkan masyarakat dalam perumusan keputusan strategis,” urai Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (PADIH-UNPAD) memaparkan, langkah konkret menuju demokrasi Pancasila harus dimulai dari reformasi pendanaan politik dan pembenahan internal partai.
Negara perlu menanggung sebagian biaya operasional partai politik agar tidak bergantung pada konglomerat atau kelompok bisnis. Di sisi lain, partai politik harus diwajibkan melakukan kaderisasi secara terbuka dan transparan, serta membangun program politik berbasis kepentingan rakyat, bukan kepentingan pemodal.
Bamsoet menambahkan, Pancasila mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah kebijaksanaan, bukan kekuasaan. Musyawarah adalah cara mencari kebenaran bersama, bukan alat tawar menawar kepentingan.
“Karenanya nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman moral dalam mengarahkan praktik politik, agar kekuasaan tidak lagi menjadi ‘alat dagang’, melainkan untuk mewujudkan amanah rakyat,” pungkas Bamsoet. []
							










