BAHLIL lagi, Bahlil terus. Mengapa setiap ada persoalan yang berkaitan dengan migas dan minerba selalu Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menjadi tertuduh, bahkan tervonis. Sepertinya kita perlu adil sejak dalam pikiran. Bahlil baru menjabat kurang dari setahun sebagai Menteri ESDM.
Ini seperti mengulang tudingan dalam perkara kebijakan elpiji bersubsidi yang ramai beberapa waktu lalu. Opini direproduksi sedemikian masif, bahkan dialektikanya bergeser menjadi hal-hal superfisial, remeh, tidak substantif. Tendensius, bahkan diduga punya vested interest.
Lagi-lagi, tuduhan serupa, mirip tapi tidak sama, dialamatkan kepada Bahlil soal tambang nikel di Raja Ampat, Papua. Padahal, persetujuan ijin usaha pertambangan (IUP) perusahaan ini dikeluarkan pada tahun 2017, waktu ketika Bahlil masih menjadi profesional, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.
Artinya, Bahlil waktu itu masih berada di luar pemerintahan, sama sekali tidak punya kewenangan mengambil keputusan administrasi negara, dikutip dari Kumparan.
Penulis tidak terafiliasi dengan Partai Golkar, sayap kepemudaannya, atau hubungan bisnis dengan Bahlil. Tulisan ini semata bentuk tanggung jawab intelektual penulis dalam menjernihkan berbagai persoalan kebijakan publik agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan, atau tidak keliru dalam menuding siapa yang bertanggung jawab.
Setiap pejabat publik mesti mempertanggung jawabkan kebijakannya di hadapan publik. Ini adalah postulat baku yang telah dilegalisasi di depan konstitusi dan kitab suci. Jika memang pejabat tersebut harus bertanggung jawab, maka rakyat punya hak untuk memintanya.
Menjernihkan Perkara Tambang
PT GAG Nikel adalah anak perusahaan dari PT Antam. Dengan kata lain, kontraktor tambang tersebut adalah anak usaha BUMN. Jika merujuk pada Minerba One Data Indonesia (MODI), persetujuan IUP PT GAG Nikel diberikan pada tahun 2017, dengan Akte Nomor 430.K/30/DJB/2017, tepatnya pada tanggal 30 November 2017.
Jeda waktu yang jauh dari pengangkatan Bahlil sebagai Menteri ESDM pada 19 Agustus 2024, atau sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 23 Oktober 2019.
Ini berarti, berdasarkan kronologi waktu sebagaimana tercatat dalam MODI, persetujuan pemberian IUP PT GAG Nikel diterbitkan pada masa Menteri ESDM Ignasius Jonan (menjabat 14 Oktober 2016 – 20 Oktober 2019). Tulisan ini tidak bermaksud mencari siapa yang salah, namun berkehendak menjelaskan fakta apa adanya.
Hal ini penting diurai agar persoalannya menjadi jelas dan terang, tidak sumir. Oleh karena itu, yang perlu dianalisis mendalam adalah bagaimana sebenarnya alur persetujuan pemberian IUP pada saat itu?
Sebelum dibentuknya perizinan digital terintegrasi melalui skema online single submission (OSS), pemberian IUP dilakukan dalam berbagai tingkatan, dengan melibatkan beragam institusi pemerintahan. Dalam hal pemberian IUP, kewenangan pemerintah, termasuk dalam hal ini Kementerian ESDM, diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam konteks PT GAG Nikel ini, komoditas yang diusahakan adalah nikel, yang berarti termasuk dalam kelompok mineral logam (Pasal 2 ayat 2 huruf b PP 23/2010). Dalam regulasi ini ditegaskan bahwa badan usaha mendapatkan persetujuan dan pemberian IUP dari Menteri ESDM setelah memiliki wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) melalui prosedur lelang. Secara praktikal, pelaksanaan lelang ini terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/ walikota.
Artinya, prosedur administratif dalam pemberian IUP bertingkat-tingkat, dengan pemenuhan syarat administratif, teknis, lingkungan, dan finansial dari perusahaan yang mengajukan permohonan.
Berkaitan dengan status PT GAG Nikel sebagai pemegang Kontrak Karya (Kontrak Karya Generasi VII No. B53/Pres/I/1998), maka persetujuan pemberian IUP dilakukan oleh Menteri ESDM (Pasal 112B ayat 1 PP 24/2012). Dengan demikian, menuding Bahlil dalam pusaran perkara ini adalah keliru pikir yang nyata.
Mencari Solusi Terukur
Langkah Bahlil yang langsung mengunjungi lokasi tambang dan menghentikan sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel sesungguhnya respons kebijakan yang tepat dan terukur. Kita tentu mengharapkan pertambangan tetap sejalan dengan ketentuan hukum, kelestarian lingkungan, serta keberlanjutan pariwisata.
Apalagi dengan status Raja Ampat sebagai destinasi wisata favorit dan Geopark Unesco, kita berharap ijin operasional tambang dievaluasi.
Namun demikian, solusi kebijakan harus dilaksanakan secara proporsional dan akuntabel. Dalam konteks kebijakan publik, segala kebijakan harus dilihat dari beragam perspektif, tentu saja melalui kalkulasi yang legal, logis, partisipatif, dan terukur.
Apa yang telah dilakukan oleh Bahlil memenuhi indikator evaluasi kebijakan publik yang baik. Jika memang ternyata IUP PT GAG Nikel harus dicabut, pencabutannya harus melalui serangkaian prosedur evaluasi yang tepat. Kita berhak setuju atau tidak setuju dengan pertambangan di Raja Ampat itu. Namun jika sengkarut tambang ini menjadi instrumen disinformasi, maka itu tentu harus dikoreksi. []
Oleh: Imad Imaduddin, Peneliti Prolog Initiatives, Alumnus Magister Analisis Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI)