WAKIL Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menegaskan bahwa DPR menghormati dan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 121/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemerintah dan DPR membentuk lembaga pengawas independen Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam waktu dua tahun.
Menurut Doli, putusan MK tersebut menjadi momentum penting untuk memperkuat sistem merit, menjaga netralitas ASN, sekaligus memastikan perlindungan bagi pegawai negeri dari potensi politisasi birokrasi.
“Kita harus menghormati putusan Mahkamah Konstitusi, karena sifatnya final and binding. Saat membahas (revisi) UU ASN dulu, saya (jadi Ketua) di Komisi II, dan itu salah satu pembahasan terlama, hampir tiga tahun. Salah satu isu penting yang alot waktu itu adalah soal keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN),” ujar Doli usai melakukan Kunjungan Kerja Baleg DPR RI ke Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, Selasa (28/10/2025), dikutip dari laman DPR RI.
Doli menjelaskan, saat pembahasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN di Komisi II DPR periode 2019-2024, muncul tiga isu utama yang menjadi perhatian, yaitu penyelesaian nasib tenaga honorer, modernisasi birokrasi melalui digitalisasi pelayanan publik, dan keberlanjutan lembaga pengawas ASN seperti KASN.
“Sebagian besar anggota Komisi II (saat itu) sebenarnya berharap KASN tetap ada. Karena KASN itu menjadi lembaga yang memberikan perlindungan bagi ASN, terutama dari kesewenang-wenangan atau politisasi jabatan. Namun waktu itu pemerintah lebih cenderung agar KASN ditiadakan, dan akhirnya fungsi pengawasan diambil oleh KementerianPAN-RB dan BKN,” jelas Anggota Komisi II DPR RI periode 2024-2029 ini.
Dengan adanya putusan MK yang mewajibkan pemerintah dan DPR merumuskan kembali keberadaan lembaga pengawas ASN, Doli menilai perlu ada formulasi baru agar lembaga tersebut tetap efektif, namun tidak menambah beban birokrasi.
“Nanti dalam revisi UU ASN, kita perlu mencari formula yang tepat. Satu sisi, pengawasan independen harus ada, tapi di sisi lain jangan sampai justru menambah tumpang tindih birokrasi atau menyulitkan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terkait ASN,” ungkapnya.
Selain menyoroti putusan MK, Doli juga menyinggung isu usulan alih status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tanpa tes yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Menurutnya, UU ASN sebenarnya telah memberikan dasar hukum yang jelas untuk penyelesaian masalah tenaga honorer. Namun, hingga kini pemerintah belum menerbitkan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana, padahal seharusnya diterbitkan paling lambat enam bulan setelah undang-undang disahkan.
“Dalam UU ASN, kita sudah atur bahwa ASN terdiri dari PNS dan P3K. P3K ini juga kita bagi dua, P#K penuh waktu dan paruh waktu. Harapannya, tenaga honorer bisa masuk ke kategori P3K karena banyak di antara mereka yang sudah bekerja puluhan tahun dan tidak memenuhi syarat usia untuk menjadi PNS,” kata Doli.
Ia menegaskan bahwa meskipun seleksi tetap diperlukan untuk menjamin kualitas ASN, pemerintah perlu menyesuaikan mekanisme seleksi agar lebih inklusif bagi tenaga honorer yang telah lama mengabdi.
“Kami tetap sepakat penempatan ASN harus melalui seleksi untuk menjamin kualifikasi, tapi seleksinya bisa disesuaikan agar lebih realistis. Kami juga memahami keterbatasan anggaran yang mempengaruhi formasi ASN. Karena itu, P3K paruh waktu menjadi solusi sementara sampai anggaran memungkinkan pengangkatan penuh waktu,” terangnya.
Doli menekankan bahwa revisi UU ASN pasca-putusan MK harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya fokus pada pengawasan ASN, tetapi juga menyelesaikan persoalan tenaga honorer, memperkuat sistem merit, serta mempercepat modernisasi birokrasi berbasis digital.
“Revisi UU ASN ke depan harus komprehensif. Kita ingin birokrasi yang modern, bersih, dan netral. Pengawasan independen harus ada, tenaga honorer harus punya kepastian, dan pelayanan publik harus semakin efisien,” tutupnya. []











