WACANA pembentukan koalisi permanen kembali menguat setelah disampaikan Ketua Umum Partai DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia dalam pidato HUT ke-61 Partai Golkar beberapa waktu lalu. Koalisi permanen dinilai penting untuk menjaga stabilitas politik, mencegah oportunisme partai, dan memperkuat legitimasi pemerintahan dalam sistem demokrasi.
Maksud dari koalisi permanen ini merujuk pada koalisi partai politik pendukung calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak berubah, mulai dari tahap pencalonan, perjuangan pemenangan hingga tahap kemenangan dan pembentukan pemerintahan.
Menurut Bahlil, koalisi permanen adalah kerangka koalisi yang benar, yang merupakan pengejawantahan dari prinsip politik yang kuat sekaligus manifestasi dari sikap gentlemen dalam berpolitik. Yang dimaksud dari sikap gentlemen ini adalah susah senang ditanggung bersama secara merata oleh partai politik dalam koalisi.
Wacana pembentukan koalisi permanen memang menarik. Selain meneguhkan prinsip politik yang kuat dan mempertegas sikap gentlemen dalam politik, koalisi permanen memiliki tiga implikasi penting terhadap penguatan demokrasi kita.
Pertama, koalisi permanen mendorong terwujudnya stabilitas politik pemerintahan. Hal ini karena partai politik memiliki kesamaan visi dan misi, yang secara politik diikat dengan kesepakatan pembentukan koalisi. Kesamaan ini tidak sekadar terpatri dalam teks kesepakatan, melainkan dalam alam kebatinan partai politik dalam koalisi.
Kesamaan tersebut menjadi landasan perjuangan bagi koalisi untuk memenangkan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung. Ketika koalisi berhasil memenangkan kontestasi, kesamaan tersebut juga yang menjadi landasan pembentukan pemerintahan.
Tahap berikutnya adalah pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan visi dan misi dengan tetap menjaga stabilitas politik. Dengan kata lain, mengelola pemerintahan harus selaras dengan menjaga stabilitas politik.
Dalam sistem politik demokrasi, stabilitas politik merupakan fondasi penting bagi bangunan pemerintahan secara keseluruhan. Di atas fondasi stabilitas politik ini, ekonomi bisa tumbuh berkembang dan merata, program kerja prioritas bisa dilaksanakan, pembangunan bisa dijalankan, dan kenyamanan dan keamanan warga bisa dijaminkan.
Stabilitas politik ini membutuhkan komitmen partai politik, terutama partai politik yang berada di parlemen (DPR RI). Dalam konteks ini, kesamaan visi dan misi serta kesamaan alam kebatinan yang diikat melalui koalisi menjadi modal penting utuhnya komitmen partai politik dalam koalisi.
Karena itu, masuknya partai politik yang dulunya lawan, yang tidak pernah terlibat dalam kesepakatan pembentukan koalisi dan pembangunan alam kebatinan koalisi, sedikit banyak akan mengganggu stabilitas internal koalisi.
Sebagaimana pernah disinggung oleh Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di media sosialnya pada 28 Oktober 2025 silam, ‘Banyak yang ramai di akhir cerita, tapi sunyi saat bab perjuangan ditulis’.
Di sinilah letak pentingnya koalisi permanen tersebut: memastikan komitmen partai politik dengan menjaga kenyamanan alam kebatinan partai politik dalam koalisi.
Stabilitas politik tak hanya terjaga di tingkat pusat, tetapi juga merata ke tingkat daerah berkat koalisi permanen yang mencegah split coalition. Dengan demikian, program prioritas nasional dapat dijalankan secara lebih efektif hingga tingkat daerah.
Kedua, koalisi permanen mencegah oportunisme partai politik. Kontestasi, apa pun bentuknya, selalu menghasilkan yang menang dan yang kalah.
Dalam kontestasi politik seperti pemilu, yang menang memegang kekuasaan dan berhak mengelola pemerintahan, sementara yang kalah menjadi penyeimbang dengan menjalankan fungsi checks and balances.
Ada pemisahan peran dan wewenang. Koalisi permanen mempertegas pemisahan tersebut; peran dan wewenang koalisi partai politik yang memenangkan kontestasi berbeda dengan koalisi partai politik yang kalah dalam kontestasi.
Meskipun memunculkan blok pemenang dan penyeimbang, koalisi permanen tetap mengedepankan kompromi dan konsensus. Hal ini karena dalam sistem multipartai, kompromi dan konsensus itu penting.
Namun, kompromi dan konsensus ini lahir dari kesamaan visi dan misi, bukan dari oportunisme, apalagi keinginan mencari suaka politik.
Sehingga, dengan koalisi permanen, mengutip pernyataan Bahlil, tidak terjadi koalisi on/off maupun koalisi in/out, di mana partai politik mendekat kepada koalisi pemenang ketika pemilu usai, dan menjauh ketika pemilu berikutnya hendak dimulai karena memiliki calon presiden dan calon wakil presiden sendiri.
Jika koalisi on/off ini terus terjadi, kita sedang menyaksikan teater oportunisme dengan partai politik sebagai lakon utama.
Ketiga, koalisi permanen semakin memperkuat legitimasi pemerintahan. Dengan koalisi permanen, pemilihan umum, yang merupakan perwujudan dari sistem politik demokrasi, menjadi ruang rakyat untuk memberikan reward dan punishment kepada partai politik.
Reward bagi koalisi pemenang berupa kursi kekuasaan, dan punishment bagi koalisi yang kalah berupa posisi penyeimbang. Dengan demikian, pemilu tidak terjebak dalam demokrasi prosedural.
Idealitas pemilu tersebut tidak akan terwujud jika terjadi koalisi on/off, di mana terdapat perbedaan antara konfigurasi koalisi pra-pemilihan dan koalisi pasca-pemilihan. Bahkan, yang dulunya lawan bertanding justru menjadi kawan bersanding.
Dampaknya adalah muncul ketidakpercayaan rakyat terhadap pemilu dan demokrasi, yang pada ujungnya memperlemah legitimasi pemerintahan. Dalam konteks ini, koalisi permanen hadir sebagai upaya untuk menjaga amanah rakyat dalam pemilu sekaligus memperkuat legitimasi pemerintahan.
Ketiga, implikasi tersebut menjadikan koalisi permanen semakin relevan dengan agenda politik kita untuk memperkuat demokrasi. Karena penguatan demokrasi senantiasa membutuhkan stabilitas pemerintahan, pencegahan oportunisme politik dan penguatan legitimasi pemerintahan.
Dan itu semua termaktub dalam koalisi permanen yang dimajukan oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia.
Sebagai informasi, acara HUT Ke-61 Partai Golkar tersebut dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di Istora Senayan, Jakarta pada 5 Desember 2025 lalu. [Detik]
Oleh: Ilham Akbar Mustafa, Wakil Ketua Umum PP AMPG











