WAKIL Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono menilai industri asuransi menghadapi tantangan membangun kepercayaan publik dan kerentanan tata kelola data.
“Pertama, tata kelolanya itu sendiri. Jadi, diperlukan harmonisasi akan standar keamanan dan transparansi antarpelaku industri agar tercipta ekosistem data yang konsisten dan akuntabel sebagai dasar kepercayaan publik. Pengelolaan itu harus dibarengi juga dengan SDM (sumber daya manusia) dan infrastruktur yang mapan,” ucapnya dalam acara iLearn Conference & Seminar 2025 yang diadakan PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re di Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Saat ini, jumlah data protection officer (DPO) dan ahli tata kelola data masih terbatas, sementara sebagian besar pelaku industri masih menggunakan sistem lama yang masih rawan bocor karena tak disesuaikan dengan teknologi terkini.
Kesenjangan tersebut dinilai memperlambat penerapan prinsip security by design (keamanan menjadi bagian inti proses desain dan pengembangan sistem) dan privacy compliance (kepatuhan terhadap hukum yang dirancang untuk melindungi informasi pribadi) di dalam bisnis asuransi Tanah Air.
Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2024, ketergantungan tinggi terhadap sistem digital meningkatkan attack surface (seluruh titik masuk potensial yang dapat dieksploitasi penyerang untuk merusak atau mengakses sistem, data, atau jaringan).
Ancaman siber lainnya adalah kasus pelanggaran data/data breach (insiden keamanan yang melakukan akses ke data personal secara tidak sah oleh pihak lain), khususnya di sektor keuangan. Kondisi ini menegaskan perlunya sinergi antara tata kelola data dan ketahanan siber nasional.
Indonesia sendiri memiliki dua undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan data maupun penggunaan digitalisasi, yakni Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).
Walaupun sudah ada UU-nya, insiden ancaman siber disebut masih berjalan terus, perangkat hukum masih kurang, sumber daya manusia di bidang terkait masih perlu ditingkatkan, hingga masalah dalam hal infrastruktur hingga pengaplikasiannya.
“Ini semua bukan hanya PR (pekerjaan rumah). Ini perlu menjadi sebuah tanggung jawab yang applicable (berlaku) kepada semua pihak,” ujar Dave, dikutip dari Antaranews.
Per tahun 2025 hingga bulan Oktober, kejahatan siber global diperkirakan memberikan kerugian hingga 10,5 triliun dolar Amerika Serikat (AS), naik 1 triliun dolar AS dibandingkan tahun lalu dengan periode yang sama.
Serangan siber dianggap semakin kompleks seiring pemanfaatan artificial intelligence (AI), machine learning, dan komputasi kuantum. Pada tahun 2024, insiden ransomware meningkat 81 persen dibandingkan tahun lalu, begitu pula phishing yang naik 58 persen, lalu deepfake meningkat 550 persen sejak 2019 dan diproyeksikan mencapai 8 juta kasus pada tahun ini.
Walaupun AI sangat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, mulai kebutuhan presentasi hingga komersial, tetapi juga menimbulkan banyak kerugian karena dipakai untuk menjadi kriminal.
Sebagaimana perubahan zaman dan kemajuan teknologi, bila tak dibarengi dengan peraturan dan pendidikan, maka kemajuan peradaban justru tak memberikan manfaat terhadap masyarakat. Karena itu, dia menekankan bahwa pemerintah dan rakyat penting untuk memahami secara detail sehingga bisa menggunakan semua teknolog yang telah diciptakan untuk kepentingan bersama.
Lebih lanjut, Dave mengungkapkan sejumlah strategi untuk penguatan tata kelola dan kepercayaan publik di industri asuransi.
Pertama adalah penguatan kolaborasi lintas sektor antar-regulator, industri, lembaga keamanan siber, serta akademisi untuk menjadi kunci membangun ekosistem data yang aman dan terpadu.
Kedua yaitu penguatan SDM dan etika digital melalui pelatihan literasi keamanan, serta membangun infrastruktur teknologi nasional yang berdaulat, termasuk encryption system (sistem enkripsi) dan cloud (komputasi awan) dibuat oleh pihak domestik, agar tak selalu harus bergantung komputasi awan dari Huawei, Amazon, maupun Google.
Strategi selanjutnya ialah peningkatan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan sejalan sesuai undang-undang. Terakhir yakni kebutuhan adanya perubahan paradigma bahwa data merupakan aset strategis nasional, sumber inovasi, dan menjadi elemen penting untuk mendukung kemajuan ekonomi.
“Tata kelola data yang kuat menjadi pilar utama dalam membangun kepercayaan publik dan menjaga keberlanjutan industri asuransi. Data pribadi tidak hanya menjaga hak individu, tetapi memperkuat reputasi lembaga dan martabat bangsa di ruang digital, serta industri asuransi harus menjadi teladan dalam penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan etika data,” ungkap Wakil Ketua Komisi I DPR RI. []











