SEORANG bapak menasihati anaknya yang baru berkeluarga untuk selalu menjaga kerukunan dan menghindari pertengkaran, sehingga tercipta ketahanan keluarga.
Pesan untuk menjaga ketahanan keluarga itu disampaikan oleh orang tua, karena hampir dipastikan dalam bertemunya laki-laki dan perempuan yang diikat oleh pernikahan, akan selalu diikuti dengan gesekan-gesekan karena perbedaan pandangan atas suatu persoalan.
Si orang tua memberikan pemahaman mengenai kehidupan keluarga dengan ilustrasi tumpukan sejumlah piring yang ketika hendak diambil salah satu, pasti ada gesekan dan menimbulkan bunyi, meski pengambilan itu dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh kelembutan.
Begitulah filosofi berkeluarga, sehingga ketahanan keluarga harus selalu dijaga dan diupayakan terus menerus. Untuk menjaga ketahanan keluarga, ikhtiar pemeliharaan mutlak dilakukan dengan penuh kesadaran, bahkan sepanjang hidup.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) Wihaji, baru-baru ini mengimbau agar perwakilan lembaga itu yang membidangi bina ketahanan keluarga, balita, dan anak di seluruh daerah terus memperkuat peran dalam menjaga ketahanan keluarga, dikutip dari Antaranews.
Di kantor perwakilan Kemendukbangga daerah terdapat layanan pembinaan untuk pasangan, yang bertujuan menjaga ketahanan keluarga dan mencegah perceraian.
Lewat pembinaan itu, kantor perwakilan Kemendukbangga di daerah dapat menelusuri akar penyebab setiap peristiwa dan masalah yang sering muncul dalam keluarga.
Masyarakat atau keluarga dapat memanfaatkan wujud hadirnya negara dalam program ini, yaitu kantor perwakilan di daerah yang telah menyediakan layanan konsultasi untuk keluarga. Dengan adanya fasilitas itu, masyarakat bisa mengakses untuk menjaga ketahanan keluarga, sehingga tidak sampai masuk ke ujung perceraian.
Untuk mengakses layanan dari negara tersebut, keluarga harus menanggalkan rasa malu atau gengsi untuk menceritakan masalah yang dihadapi demi masa depan keluarga yang lebih baik di masa mendatang.
Selain Kemendukbangga, wujud lain dari kehadiran negara untuk membina ketahanan keluarga juga diprogramkan oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag terus berinovasi melalui sejumlah program unggulan terkait upaya menjaga ketahanan keluarga. Pertama, program Pusat Layanan Keluarga Sakinah (Pusaka Sakinah) yang fokus pada layanan bimbingan konseling keluarga.
Kedua, program Belajar Rahasia Nikah (Berkah) yang mencakup bimbingan remaja usia sekolah, bimbingan remaja usia nikah, bimbingan perkawinan calon pengantin, relasi harmonis, serta literasi keuangan keluarga.
Ketiga, program konsultasi, mediasi, pendampingan, advokasi dan layanan bersama ketahanan keluarga Republik Indonesia.
Keempat, program kerja sama antara kantor urusan agama (KUA) di tingkat kecamatan dengan dinas dan lembaga lokal, seperti pemerintah desa, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan. Sinergi tersebut dapat memperluas jangkauan layanan, termasuk edukasi pencatatan nikah dan penguatan program ketahanan keluarga.
Penerimaan
Selain memanfaatkan layanan dari pemerintah, seluruh keluarga, sebenarnya juga bisa melakukan perawatan swadaya, dengan menumbuhkan kesadaran suami dan istri untuk saling mengedepankan penerimaan atas kekurangan satu sama lain.
Perbedaan latar belakang, baik kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, maupun pola asuh ketika mereka masih kecil juga sangat berpengaruh pada kondisi ketahanan keluarga.
Seseorang, ketika masih kecil terbiasa dididik dengan sikap disiplin akan menjadi masalah besar ketika menikah dengan pasangan yang pola asuhnya cenderung lebih longgar, seperti dari keluarga seniman.
Bagi seseorang yang dididik oleh orang tua yang seniman, mungkin biasa menaruh handuk di atas kasur atau meja, ketika digunakan saat selesai mandi. Bagi pasangan yang biasa dididik disiplin, kebiasaan itu menjadi masalah, apalagi jika si pasangan sudah diingatkan berkali-kali.
Ketika si pasangan yang terbiasa dalam pendidikan keluarga disiplin menganggap masalah penempatan handuk itu sebagai hal yang serius dan perlu segera diubah, maka orang yang biasa dengan kebebasan akan menganggap hal itu aneh, mengapa hal sepele seperti itu dianggap masalah besar.
Itu baru soal menempatkan handuk, belum masalah menaruh sandal atau sepatu, kunci motor , atau masalah lain terkait pengelolaan keuangan, pola pengasuhan anak, selera makan, dan lainnya.
Pemahaman dasar yang barangkali mampu menyelamatkan keluarga itu agar tidak berlabuh pada perceraian adalah tumbuhnya kesadaran bahwa pernikahan adalah peristiwa besar yang terjadi bukan semata-mata karena ikhtiar dari suami atau dari si istri. Penyatuan dua insan menjadi keluarga itu, sejatinya adalah kehendak Tuhan, sehingga amanah itu harus saling dijaga.
Penjagaan atas amanah ketahanan keluarga yang terwujud karena kehendak Tuhan itu dapat dilakukan dengan komunikasi intensif yang harus selalu dibangun, dengan menghindari sikap menghakimi satu sama lain.
Pada komunikasi tanpa penghakiman itu, pada akhirnya bisa memunculkan saling kompromi. Suami tidak bisa bersikukuh istri harus sesuai dengan yang diharapkan, demikian juga dengan istri. Jalan tengah bisa diambil, misalnya, dengan cara suami menurunkan kriteria atas istri dan istri bersedia untuk memenuhi apa yang diharapkan oleh suami, sehingga ada pertemuan kriteria di titik tengah. Demikian juga kalau isu yang hendak dikompromikan berasal dari harapan istri.
Kalau dalam contoh di atas, muncul konflik karena yang satu terlalu disiplin, sedangkan pasangannya terlalu santai, maka pihak yang disiplin harus belajar menjadi lebih santai dan pihak yang santai harus rela belajar untuk lebih disiplin. Bukankah dalam diri setiap individu, baik suami maupun istri, sudah ada potensi disiplin, sekaligus rasa santai?
Tentu saja, sodoran solusi saling penerimaan ini tidak seperti membalikkan telapak tangan. Sebagaimana hakikatnya pernikahan yang merupakan lembaga pendidikan, maka penerimaan ini juga harus dijalani sebagai proses pendidikan dan perlu latihan terus menerus.
Dengan membangun saling penerimaan ini, pelan, tapi pasti, keluarga yang damai dan tenteram akan terwujud. Keluarga damai dan tenteram menjadi dasar utama menyiapkan anak-anak berkualitas unggul untuk mengisi Indonesia Emas 2045. []











