PARA wakil rakyat asal Papua melontarkan kritik keras kepada perusahaan tambang yang beroperasi di tanah Papua, namun enggan menggunakan pekerja dan industri lokal dalam operasional pertambangannya. Pemerintah pusat pun diminta memberikan perhatian serius atas ketidakadilan yang diterima masyarakat Papua.
Anggota DPR Dapil Papua Barat Daya, Robert J. Kardinal menuturkan, saat ini ada kecenderungan perusahaan-perusahaan tambang besar di Papua, seperti PT Freeport Indonesia, BP LNG Tangguh, Genting Oil, dan PT Gag Nikel di Raja Ampat (anak usaha PT Antam), lebih memprioritaskan pelaku industri dan tenaga kerja dari luar.
“Mereka berkolusi dengan perusahaan-perusahaan dari luar Papua. Padahal semua pengurusnya (Direksi dan Komisaris) itu dikontrol Pemerintah pusat,” geram Robert kepada wartawan di Jakarta, Kamis (21/8/2025), dikutip dari RMOL.
Legislator Partai Golkar ini menilai perusahaan-perusahaan besar tersebut pada umumnya berkolusi dengan pengusaha-pengusaha dari luar Papua, untuk mendapatkan fasilitas istimewa dalam operasional mereka.
Fasilitas Istimewa tersebut berupa tenaga kerja dan pelaku industri, dalam hal ini kontraktor, yang ternyata setelah ditelusuri, sama sekali tidak memberdayakan pekerja dan pengusaha Orang Asli Papua. “Sehingga yang terjadi, daerah cuma dapat dana bagi hasil (DBH) dari Pemerintah Pusat,” ungkapnya.
Situasi ini pula, lanjut anggota Komisi IV DPR ini, membuat hadirnya perusahaan tambang di Papua, sama sekali tidak memberi dampak signifikan kepada perekonomian daerah.
Akhirnya Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari 34 Provinsi. Sebab ribuan tenaga kerja yang didatangkan justru berasal dari luar Papua. Begitu juga, pelaku industri tambang yang masuk ke Papua seluruhnya berasal dari Jakarta.
“Lantas Papua dapat apa? Pemerintah daerah juga tidak dapat pajak, tidak dapat apa-apa. Sementara masalah lapangan kerja, hak untuk berusaha, itu masyarakat dan pelaku usaha di Papua tidak menikmati apa-apa,” ujarnya.
Bagi Robert, hal ini sangat tidak adil. Sebab ruang bagi daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya menjadi sangat terbatas. Sehingga yang terjadi, daerah hanya mengandalkan DBH sebagai ruang fiskal dalam membangun daerahnya.
Untuk itu, dia meminta Pemerintah melalui SKK Migas dan BPH Migas untuk mendorong mendukung pengembangan potensi lokal dalam operasional tambang di Papua, terutama penggunaan tenaga kerja lokal dan kerjasama dengan industri lokal.
“Saya harap Presiden Prabowo bisa merubah semua ini. Stop pekerja dan kontraktor dari luar. Stop juga bahan makanan dan kebutuhan logistik dari luar,” imbuhnya.
Robert juga mendorong agar perusahaan tambang besar di Papua tidak hanya mengeruk untung dari sumber daya alam, namun abai terhadap kewajiban sosialnya membangun sumber daya manusia di Papua. Untuk itu, dia mendorong agar dana Corporate Social Responsibility (CSR) dapat diarahkan mayoritas untuk kesehatan dan beasiswa pendidikan anak-anak Papua.
“Karena begitu sumber daya alam habis, merekalah generasi-generasi yang bisa menyelamatkan sumber daya alam Papua,” tambahnya. []